Rabu, 19 Desember 2007

'dia' bukan sahabat


''perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat"

(Abu Hayyan At-Tauhidy)

Entah, siapa pun dia, ketika menjumpai kenyataan penghianatan dari yang namanya sahabat, secara manusiawi perasaan sedih, kecewa, dan kesan seolah tak percaya bahkan pada batas-batas tertentu dan untuk sebagaian orang sulit untuk dinalar. Terlepas dari model dan bentuk penghianatan itu.

Seorang 'sahabat' menceritakan pengalaman bertahun-tahun bersahabat yang kemudian secara dramatis--dihianati. Apakah ini sekali lagi menjadi pembenaran atas adigium bahwa tidak ada persahabatan yang abadi, apalagi ketika semangat persahabatan itu harus memilih diantara faktor dan domain kepentingan. Kalau saja adigium itu benar, maka betapa semunya relasi kemanusiaan yang akan terbangun. Saya termasuk 'mazhab' yang meragukan sekaligus menolak pernyataan itu. Sebaliknya, masih menyisakan harapan bahwa seiring berjalannya waktu, sahabat yang ideal itu memang ada. Pengalaman 'sahabat' yang dimaksud pada kalimat awal dalam paragraf ini, merupakan bagian dari proses perjalanan mencari sahabat seperti kutipan dari Abu Hayyan At-Tauhidy di atas.

Bahkan sebelum kita menemukannya, mungkin kita sudah terlebih dahulu bisa menjadi sahabat bagi yang lain. Dan kita pun akhirnya menjadi seperti yang dikecualikan Allah dalam Al-Qur'an (43) ayat (67) bahwa ''para sahabat akrab, pada hari kemudian saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertaqwa".

Terakhir, diluar pengalaman 'sahabat' dihianati diatas, mungkin juga kita masih dalam proses perjalanan panjang itu. Sementara disana, mereka juga sedang dalam perjalanan mencari dan menemukan kita.

Wallahu a'lam bisshawab.




Jumat, 14 Desember 2007

Ber-Islam Apa Adanya (sebuah usulan)

Seusai sholat Jum'at, saya kembali ke kantor. Ternyata sudah banyak tamu yang menunggu. Diantara tamu itu ada Robby Al-Farobi-wartawan swara Kaltim yang juga sebagai kaum muda NU, Dimas-wartawan Sapos Jawa Pos Group, Abrianto Amin-aktivis lingkungan, A. Ade L. Fathir-kordinator area LSI wilayah Kaltim, Mulyadi atau yang akrab disapa pak Mul- dosen UNMUL dan aktivis lembaga research, Mukhlis Ramlan-aktivis ortom Muhammadiyah, dan Mul-aktivis HMI.

Karena kawan-kawan ini bukan tamu seperti tamu-tamu kantor umumnya, mereka terbiasa datang ke tempat saya dan kedatangannya biasa hanya sekadar ingin 'rendesvous' sambil berdiskusi ringan entah dengan atau tanpa tema. Sesaat sebelum masuk ruang kerja, mereka tampak terlihat diskusi serius dan saya pun berlalu masuk. Setelah tamu-tamu lainnya saya layani, maka saya pun keluar menemui sahabat-sahabat tadi yang diskusinya makin seru saja. Apa gerangan tema diskusi itu, saya membatin. Dan setelah bergabung, baru saya tahu kalau diskusi soal ber-Islam. Diantara isinya adalah, soal ormas Islam, soal aliran, sampai soal-soal khilafiyah. Sebenarnya kita sudah pernah mendiskusikan soal ini di kedai kopi malam (warung jinggo). Saya berusaha menjadi pendengar sambil sesekali tersenyum melihat mereka berdebat. Inilah yang menginspirasi saya menulis dengan judul di atas.

******

Paham ber-Islam atau cara memahami Islam di Indonesia sangat beragam dan bahkan cara pemahaman yang beragam melembagan diri dalam bentuk jaringan organisasi dengan organ tersebar secara nasional. Ada paham-- ala paham Muhammadiyah, ala paham Nahdatul Ulama (NU), ala paham PERSIS, ala paham Hidayatullah, ala paham LDII, dan lain-lain. Ditambah paham beragama yang dikembangkan secara tersendiri oleh pondok-pondok pesantren yang tidak memiliki afiliasi dengan ORMAS Islam terntentu. Belum lagi paham yang oleh pemerintah dianggap aliran menyesatkan seperti Islam Jamaah, paham al qiyadah, dan aliran-aliran lainnya.

Bisa dibayangkan betapa beragam dan banyaknya cara memahami Islam. Bisa juga dibayangkan bagaimana umat 'terbelah' oleh cara memahami Islam atau paham Islam yang berbeda-beda itu. Posisi umat pada umumnya ber-taqlid (mengikuti). Memang bagi sebagian orang kadang dibuat ambigu. Padahal klaim semua paham tadi adalah sama-sama rujukannya yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits. Lantas, kalau sudah sama rujukannya dan sumber paham beragamanya, kenapa sampai berbeda cara memahaminya ?

Bahkan tidak sedikit, dilapangan beribadah seringkali terjadi saling klaim yang berlebihan (truth claim), bahkan sampai bias, saling menyalahkan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kelompk satu mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar atas tafsir teologi terhadap suatu permasalahan tertentu dari sisi Islam dan kelompok lain dituding lemah dalam argumentasi dan pendapatnya, atau sebaliknya. Sementara kelompok yang sedikit moderat, membagun argumentasi bahwa beragamnya cara memahami memahami Islam merupakan bukti kekayaan khasanah Islam. Benarkah ini sekadar alasan kekayaan khasanah Islam ?. Ini tidak mudah bagi saya menjawabnya karena secara jujur, saya sama sekali tidak memiliki kapasitas keahlian dan keilmuan untuk konteks ini. Saya pernah di 'KO' (knot out) oleh seorang ustadz ketika saya mendebatnya karena materi ceramahnya yang menurut pemikiran saya terlalu ektrem. Ketika itu beliau sampaikan dengan sangat keras bahwa haram hukumnya umat Islam berobat di rumah sakit 'Q' (nama rumah sakitnya diinisialkan--milik yayasan agama lain, penulis). Ditengah berdebat itu, lantas beliau (ustadz) mengatakan kalau anda (saya) tidak memiliki ilmu qur'an, azbabunnuzul, ilmu hadits, asbabul urut, bahasa Arab, ilmu mantiq, qiraah, kepasihan lainnya, maka anda tidak mempunyai alasan mendebat pendapat ini, katanya dengan sangat antusias. Dengan alasan itulah saya berhenti mendebatnya--apalagi posisi saya kala itu sebagai undangan, sangat harus sadar posisi. Sekali lagi, saya tidak memiliki ilmu sedikitpun untuk memberikan pendapat teologis soal-soal diatas, disamping tentu alasan pengalaman di 'KO' dengan ustadz di atas cukup menjadi pelajaran bagi saya.

Yang terpikirkan bagi penulis adalah mungkinkah kita beragama atau ber-Islam, yang normal-normal saja, ya ber-Islam apa adanya. Ber-Islam yang dimaksudkan tadi adalah bahwa bertauhid, tentang keyakinan bahwa satu-satunya tempat menghambakan diri hanyalah kepada Allah Robbul 'alamien. Setelah perkara pemurnian aqidah difinalisasi sebagai komitmen permanen bersifat transendental, maka perkara ibadah (sholat, puasa, haji, akhlak) adalah domain yang sudah sangat jelas rujukannya (Al Qur'an dan Al Hadits)--ya seperti diskusi kecil-kecilan sahabat-sahabat di atas tadi--mereka mengungkapkan bahwa yang paling subtansial adalah kita sholat lima waktu, mungkin juga ada yang melakukan sholat sunnat, misalnya sholat sunnat rawatib, sholat lail, sholat dhuha, dan sholat sunnat lainnya. Sementara soal panjang pendek zikir, bacaan sholatnya, adab dan tatacaranya--yang penting umat ada alas paham yang diyakininya atau bertaqlid dengan dalil yang jelas, pendapat ulama atau paham keyakinan yang bersumber hukum jelas berpulang kepada umat yang bersangkutan. Apalagi urusan muamalah (masalah urusan keduniawian), sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam, Al Qur'an dan Al Hadits--sebagaimana kategorinya, urusan muamalah menjadi sangat dinamis dalam batas-batas toleransi.

Apalagi kalau ber-Islam dibuat aneh dan menyesatkan. Ber-Islam apa adanya juga menolak cara ber-Islam yang aneh dan menyesatkan. Ada orang tiba-tiba mengaku nabi atau imam Mahdi, misalnya. Juga ada ajaran yang katanya dosa dapat ditebus dengan jumlah bayaran tertentu. Cara memahami Islam atau paham ber-Islam dengan model ini sudah dipastikan kepalsuan dan kesesatannya. Juga paham ber-Islam yang sangat ekstem, apalagi menyangkut Jihad. Paham ini mengusung pendapat bahwa segala kemaksiatan harus di hancurkan, kendati tidak sedikit orang--baik yang terkait dengan kemaksiatan itu ataupun bukan, menjadi korban dari perilaku penganut cara memahami Jihad dalam Islam dengan jalan kekerasan. Lebih dari sekadar itu, masih ada. Pemboman dan pembunuhan kerap diklaim sebagai bentuk Jihad dalam melawan musuh-musuh Allah SWT. Dan diungkapkan dengan tanpa beban, apalagi bersalah.

Diluar permasalahan khilafiyah yang kerap menjadi krusial dalam relasi antar 'pemilik' paham beragama di Indonesia, sesungguhnya ada persoalan yang jauh lebih memerlukan perhatian dan kepedulian bagi Islam. Dan karenanya menjadi sangat penting juga untuk memahaminya. Misalnya, soal kemiskinan, keadilan, kesehatan, pendidikan, kemanusiaan, dan lain-lain. Porsi memahami yang terakhir ini, masih belum maksimal, padahal persoalan ini adalah persoalan Al Qur'an dan Al Hadits--persoalan Islam. Sekali lagi, ini merupakan bagian dari ber-Islam apa adanya. Ketika menulis paragraf terakhir ini, saya teringat dengan ustadz yang saya debat tadi, atau mungkin suatu hari saya bertanya kepada beliau dengan pertanyaan " ustadz, mana yang lebih penting seorang ustadz mengharamkan orang Islam berobat di rumah sakit 'Q' atau mengharamkan umat Islam yang tidak memikirkan soal nasib sesama (kemiskinan, pendidikan, kesehatan) ???. Mudah-mudahan beliau tidak bertanya balik "apakah anda (saya) sudah memiliki ilmu Qur'an, ilmu asbabunnuzul, ilmu hadist, ilmu asbabul-urut, ilmu mantiq, dan seterusnya, sebab bila tidak, anda belum pantas bertanya seperti itu !". Artinya, saya bakal di buat 'KO' untuk kedua kalinya, sebab sampai pertanyaan ini siap untuk diajukan, saya belum-belum juga memiliki kapasitas keahlian dan keilmuan untuk itu. Jujur, kami terobsesi membuat buku dengan tema diatas, kendati bentuk bukunya bunga rampai. Semoga terkabulkan.

Wallahu a'lam bishshawab.