Drama kepura-puraan di pentas politik telah menjadi 'serial' laiknya sinetron bersambung di acara-acara entertainment televisi nasional. Wajah buruk parlemen kian parah. performa pemerintah juga tak kalah payah. Lantas, rakyat menjadi korban lagi. Entah sampai kapan kita bisa mendapatkan sebuah sistem politik nasional yang jujur, berpihak kepada rakyat, dan tidak dibangun diatas semangat kepura-puraan. Ya, pura-pura vokal, pura-pura memihak, pura-pura atas nama rakyat, pura-pura bersidang, pura-pura rapat, dan seterusnya--sampai urusan pura-pura studi banding (study comparative).
Protes, kritik, cibiran, hujatan dan aksi demonstrasi rakyat sekalipun, ternyata tidak mampu mengembalikan kesadaran dan komitmen amanah para wakil rakyat, politisi, atau elite kita. Bahkan sedikit pun tidak berpengaruh. Padahal, negara menggaji dengan angka fantastis dari rata-rata standar gaji nasional--belum lagi gelar "yang terhormat" melekat padanya. Masihkah pantas sebutan itu untuk 'mereka' ?
Tidak semua memang seperti itu, kita juga masih memiliki politisi, elite, wakil yang memiliki hati nurani, jiwa patriotik, dan amanah. Masalahnya, sedikit sekali. Tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi 'arus' yang besar tadi. Dilematis, memang. Padahal, cost alias biaya yang harus di tanggung dari sikap kepura-puran elite tadi, sangat luar biasa--baik itu social cost maupun material cost-nya. Dengan metoda enteng-entengan betapa sangat mudah membuktikan besaran pemborosan atas hipotesa di atas. Biaya rapat mencapai ratusan juta per bulan. Demikian halnya dalih kunjungan kerja atau studi banding bisa menghabiskan anggaran milyaran rupiah dengan hasil yang sangat nihil. Rasanya tidak ada ruang bagi logika untuk bisa menerimanya dengan sehat.
Sebenarnya tradisi ini bisa dibalikkan, seandainya semangat komitmen kepada rakyat dan atas dasar amanah menjadi latar belakang kinerja bagi para elite. Kalau saja, rapat atau sidang yang adakan itu benar-benar dan sungguh-sungguh membahas masalah sekaligus menjadi problem solving (way out) bagi masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat, maka menjadi bisa dipahami-- kendati rapat atau sidang itu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal sama juga berlaku bagi kunjungan kerja atau studi banding-studi banding yang berulang-ulang itu.
Tulisan ini memang belum terlalu dalam membahas bagaimana setelah kenyataan terpapar itu. Baru sekadar secara sederhana mengekspresikan kegetiran atas fenomena itu. Sekaligus bermaksud mengajak untuk memikirkan dan menjadi ruang publik untuk didiskusikan secara bersama. Dan untuk tidak bermaksud mengeneralisir, sekali lagi bahwa diantara fakta kebanyakan itu, sesungguhnya masih tersisas diantara elite yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Kita doakan semoga yang tersisa itu, tetap bertahan dan setia atas sikap mulia itu. Wallahu a'lam bishshawab.
Protes, kritik, cibiran, hujatan dan aksi demonstrasi rakyat sekalipun, ternyata tidak mampu mengembalikan kesadaran dan komitmen amanah para wakil rakyat, politisi, atau elite kita. Bahkan sedikit pun tidak berpengaruh. Padahal, negara menggaji dengan angka fantastis dari rata-rata standar gaji nasional--belum lagi gelar "yang terhormat" melekat padanya. Masihkah pantas sebutan itu untuk 'mereka' ?
Tidak semua memang seperti itu, kita juga masih memiliki politisi, elite, wakil yang memiliki hati nurani, jiwa patriotik, dan amanah. Masalahnya, sedikit sekali. Tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi 'arus' yang besar tadi. Dilematis, memang. Padahal, cost alias biaya yang harus di tanggung dari sikap kepura-puran elite tadi, sangat luar biasa--baik itu social cost maupun material cost-nya. Dengan metoda enteng-entengan betapa sangat mudah membuktikan besaran pemborosan atas hipotesa di atas. Biaya rapat mencapai ratusan juta per bulan. Demikian halnya dalih kunjungan kerja atau studi banding bisa menghabiskan anggaran milyaran rupiah dengan hasil yang sangat nihil. Rasanya tidak ada ruang bagi logika untuk bisa menerimanya dengan sehat.
Sebenarnya tradisi ini bisa dibalikkan, seandainya semangat komitmen kepada rakyat dan atas dasar amanah menjadi latar belakang kinerja bagi para elite. Kalau saja, rapat atau sidang yang adakan itu benar-benar dan sungguh-sungguh membahas masalah sekaligus menjadi problem solving (way out) bagi masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat, maka menjadi bisa dipahami-- kendati rapat atau sidang itu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal sama juga berlaku bagi kunjungan kerja atau studi banding-studi banding yang berulang-ulang itu.
Tulisan ini memang belum terlalu dalam membahas bagaimana setelah kenyataan terpapar itu. Baru sekadar secara sederhana mengekspresikan kegetiran atas fenomena itu. Sekaligus bermaksud mengajak untuk memikirkan dan menjadi ruang publik untuk didiskusikan secara bersama. Dan untuk tidak bermaksud mengeneralisir, sekali lagi bahwa diantara fakta kebanyakan itu, sesungguhnya masih tersisas diantara elite yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Kita doakan semoga yang tersisa itu, tetap bertahan dan setia atas sikap mulia itu. Wallahu a'lam bishshawab.