Rabu, 19 Desember 2007

'dia' bukan sahabat


''perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat"

(Abu Hayyan At-Tauhidy)

Entah, siapa pun dia, ketika menjumpai kenyataan penghianatan dari yang namanya sahabat, secara manusiawi perasaan sedih, kecewa, dan kesan seolah tak percaya bahkan pada batas-batas tertentu dan untuk sebagaian orang sulit untuk dinalar. Terlepas dari model dan bentuk penghianatan itu.

Seorang 'sahabat' menceritakan pengalaman bertahun-tahun bersahabat yang kemudian secara dramatis--dihianati. Apakah ini sekali lagi menjadi pembenaran atas adigium bahwa tidak ada persahabatan yang abadi, apalagi ketika semangat persahabatan itu harus memilih diantara faktor dan domain kepentingan. Kalau saja adigium itu benar, maka betapa semunya relasi kemanusiaan yang akan terbangun. Saya termasuk 'mazhab' yang meragukan sekaligus menolak pernyataan itu. Sebaliknya, masih menyisakan harapan bahwa seiring berjalannya waktu, sahabat yang ideal itu memang ada. Pengalaman 'sahabat' yang dimaksud pada kalimat awal dalam paragraf ini, merupakan bagian dari proses perjalanan mencari sahabat seperti kutipan dari Abu Hayyan At-Tauhidy di atas.

Bahkan sebelum kita menemukannya, mungkin kita sudah terlebih dahulu bisa menjadi sahabat bagi yang lain. Dan kita pun akhirnya menjadi seperti yang dikecualikan Allah dalam Al-Qur'an (43) ayat (67) bahwa ''para sahabat akrab, pada hari kemudian saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertaqwa".

Terakhir, diluar pengalaman 'sahabat' dihianati diatas, mungkin juga kita masih dalam proses perjalanan panjang itu. Sementara disana, mereka juga sedang dalam perjalanan mencari dan menemukan kita.

Wallahu a'lam bisshawab.




Jumat, 14 Desember 2007

Ber-Islam Apa Adanya (sebuah usulan)

Seusai sholat Jum'at, saya kembali ke kantor. Ternyata sudah banyak tamu yang menunggu. Diantara tamu itu ada Robby Al-Farobi-wartawan swara Kaltim yang juga sebagai kaum muda NU, Dimas-wartawan Sapos Jawa Pos Group, Abrianto Amin-aktivis lingkungan, A. Ade L. Fathir-kordinator area LSI wilayah Kaltim, Mulyadi atau yang akrab disapa pak Mul- dosen UNMUL dan aktivis lembaga research, Mukhlis Ramlan-aktivis ortom Muhammadiyah, dan Mul-aktivis HMI.

Karena kawan-kawan ini bukan tamu seperti tamu-tamu kantor umumnya, mereka terbiasa datang ke tempat saya dan kedatangannya biasa hanya sekadar ingin 'rendesvous' sambil berdiskusi ringan entah dengan atau tanpa tema. Sesaat sebelum masuk ruang kerja, mereka tampak terlihat diskusi serius dan saya pun berlalu masuk. Setelah tamu-tamu lainnya saya layani, maka saya pun keluar menemui sahabat-sahabat tadi yang diskusinya makin seru saja. Apa gerangan tema diskusi itu, saya membatin. Dan setelah bergabung, baru saya tahu kalau diskusi soal ber-Islam. Diantara isinya adalah, soal ormas Islam, soal aliran, sampai soal-soal khilafiyah. Sebenarnya kita sudah pernah mendiskusikan soal ini di kedai kopi malam (warung jinggo). Saya berusaha menjadi pendengar sambil sesekali tersenyum melihat mereka berdebat. Inilah yang menginspirasi saya menulis dengan judul di atas.

******

Paham ber-Islam atau cara memahami Islam di Indonesia sangat beragam dan bahkan cara pemahaman yang beragam melembagan diri dalam bentuk jaringan organisasi dengan organ tersebar secara nasional. Ada paham-- ala paham Muhammadiyah, ala paham Nahdatul Ulama (NU), ala paham PERSIS, ala paham Hidayatullah, ala paham LDII, dan lain-lain. Ditambah paham beragama yang dikembangkan secara tersendiri oleh pondok-pondok pesantren yang tidak memiliki afiliasi dengan ORMAS Islam terntentu. Belum lagi paham yang oleh pemerintah dianggap aliran menyesatkan seperti Islam Jamaah, paham al qiyadah, dan aliran-aliran lainnya.

Bisa dibayangkan betapa beragam dan banyaknya cara memahami Islam. Bisa juga dibayangkan bagaimana umat 'terbelah' oleh cara memahami Islam atau paham Islam yang berbeda-beda itu. Posisi umat pada umumnya ber-taqlid (mengikuti). Memang bagi sebagian orang kadang dibuat ambigu. Padahal klaim semua paham tadi adalah sama-sama rujukannya yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits. Lantas, kalau sudah sama rujukannya dan sumber paham beragamanya, kenapa sampai berbeda cara memahaminya ?

Bahkan tidak sedikit, dilapangan beribadah seringkali terjadi saling klaim yang berlebihan (truth claim), bahkan sampai bias, saling menyalahkan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kelompk satu mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar atas tafsir teologi terhadap suatu permasalahan tertentu dari sisi Islam dan kelompok lain dituding lemah dalam argumentasi dan pendapatnya, atau sebaliknya. Sementara kelompok yang sedikit moderat, membagun argumentasi bahwa beragamnya cara memahami memahami Islam merupakan bukti kekayaan khasanah Islam. Benarkah ini sekadar alasan kekayaan khasanah Islam ?. Ini tidak mudah bagi saya menjawabnya karena secara jujur, saya sama sekali tidak memiliki kapasitas keahlian dan keilmuan untuk konteks ini. Saya pernah di 'KO' (knot out) oleh seorang ustadz ketika saya mendebatnya karena materi ceramahnya yang menurut pemikiran saya terlalu ektrem. Ketika itu beliau sampaikan dengan sangat keras bahwa haram hukumnya umat Islam berobat di rumah sakit 'Q' (nama rumah sakitnya diinisialkan--milik yayasan agama lain, penulis). Ditengah berdebat itu, lantas beliau (ustadz) mengatakan kalau anda (saya) tidak memiliki ilmu qur'an, azbabunnuzul, ilmu hadits, asbabul urut, bahasa Arab, ilmu mantiq, qiraah, kepasihan lainnya, maka anda tidak mempunyai alasan mendebat pendapat ini, katanya dengan sangat antusias. Dengan alasan itulah saya berhenti mendebatnya--apalagi posisi saya kala itu sebagai undangan, sangat harus sadar posisi. Sekali lagi, saya tidak memiliki ilmu sedikitpun untuk memberikan pendapat teologis soal-soal diatas, disamping tentu alasan pengalaman di 'KO' dengan ustadz di atas cukup menjadi pelajaran bagi saya.

Yang terpikirkan bagi penulis adalah mungkinkah kita beragama atau ber-Islam, yang normal-normal saja, ya ber-Islam apa adanya. Ber-Islam yang dimaksudkan tadi adalah bahwa bertauhid, tentang keyakinan bahwa satu-satunya tempat menghambakan diri hanyalah kepada Allah Robbul 'alamien. Setelah perkara pemurnian aqidah difinalisasi sebagai komitmen permanen bersifat transendental, maka perkara ibadah (sholat, puasa, haji, akhlak) adalah domain yang sudah sangat jelas rujukannya (Al Qur'an dan Al Hadits)--ya seperti diskusi kecil-kecilan sahabat-sahabat di atas tadi--mereka mengungkapkan bahwa yang paling subtansial adalah kita sholat lima waktu, mungkin juga ada yang melakukan sholat sunnat, misalnya sholat sunnat rawatib, sholat lail, sholat dhuha, dan sholat sunnat lainnya. Sementara soal panjang pendek zikir, bacaan sholatnya, adab dan tatacaranya--yang penting umat ada alas paham yang diyakininya atau bertaqlid dengan dalil yang jelas, pendapat ulama atau paham keyakinan yang bersumber hukum jelas berpulang kepada umat yang bersangkutan. Apalagi urusan muamalah (masalah urusan keduniawian), sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam, Al Qur'an dan Al Hadits--sebagaimana kategorinya, urusan muamalah menjadi sangat dinamis dalam batas-batas toleransi.

Apalagi kalau ber-Islam dibuat aneh dan menyesatkan. Ber-Islam apa adanya juga menolak cara ber-Islam yang aneh dan menyesatkan. Ada orang tiba-tiba mengaku nabi atau imam Mahdi, misalnya. Juga ada ajaran yang katanya dosa dapat ditebus dengan jumlah bayaran tertentu. Cara memahami Islam atau paham ber-Islam dengan model ini sudah dipastikan kepalsuan dan kesesatannya. Juga paham ber-Islam yang sangat ekstem, apalagi menyangkut Jihad. Paham ini mengusung pendapat bahwa segala kemaksiatan harus di hancurkan, kendati tidak sedikit orang--baik yang terkait dengan kemaksiatan itu ataupun bukan, menjadi korban dari perilaku penganut cara memahami Jihad dalam Islam dengan jalan kekerasan. Lebih dari sekadar itu, masih ada. Pemboman dan pembunuhan kerap diklaim sebagai bentuk Jihad dalam melawan musuh-musuh Allah SWT. Dan diungkapkan dengan tanpa beban, apalagi bersalah.

Diluar permasalahan khilafiyah yang kerap menjadi krusial dalam relasi antar 'pemilik' paham beragama di Indonesia, sesungguhnya ada persoalan yang jauh lebih memerlukan perhatian dan kepedulian bagi Islam. Dan karenanya menjadi sangat penting juga untuk memahaminya. Misalnya, soal kemiskinan, keadilan, kesehatan, pendidikan, kemanusiaan, dan lain-lain. Porsi memahami yang terakhir ini, masih belum maksimal, padahal persoalan ini adalah persoalan Al Qur'an dan Al Hadits--persoalan Islam. Sekali lagi, ini merupakan bagian dari ber-Islam apa adanya. Ketika menulis paragraf terakhir ini, saya teringat dengan ustadz yang saya debat tadi, atau mungkin suatu hari saya bertanya kepada beliau dengan pertanyaan " ustadz, mana yang lebih penting seorang ustadz mengharamkan orang Islam berobat di rumah sakit 'Q' atau mengharamkan umat Islam yang tidak memikirkan soal nasib sesama (kemiskinan, pendidikan, kesehatan) ???. Mudah-mudahan beliau tidak bertanya balik "apakah anda (saya) sudah memiliki ilmu Qur'an, ilmu asbabunnuzul, ilmu hadist, ilmu asbabul-urut, ilmu mantiq, dan seterusnya, sebab bila tidak, anda belum pantas bertanya seperti itu !". Artinya, saya bakal di buat 'KO' untuk kedua kalinya, sebab sampai pertanyaan ini siap untuk diajukan, saya belum-belum juga memiliki kapasitas keahlian dan keilmuan untuk itu. Jujur, kami terobsesi membuat buku dengan tema diatas, kendati bentuk bukunya bunga rampai. Semoga terkabulkan.

Wallahu a'lam bishshawab.











Rabu, 21 November 2007

Kepura-puraan elite

Drama kepura-puraan di pentas politik telah menjadi 'serial' laiknya sinetron bersambung di acara-acara entertainment televisi nasional. Wajah buruk parlemen kian parah. performa pemerintah juga tak kalah payah. Lantas, rakyat menjadi korban lagi. Entah sampai kapan kita bisa mendapatkan sebuah sistem politik nasional yang jujur, berpihak kepada rakyat, dan tidak dibangun diatas semangat kepura-puraan. Ya, pura-pura vokal, pura-pura memihak, pura-pura atas nama rakyat, pura-pura bersidang, pura-pura rapat, dan seterusnya--sampai urusan pura-pura studi banding (study comparative).

Protes, kritik, cibiran, hujatan dan aksi demonstrasi rakyat sekalipun, ternyata tidak mampu mengembalikan kesadaran dan komitmen amanah para wakil rakyat, politisi, atau elite kita. Bahkan sedikit pun tidak berpengaruh. Padahal, negara menggaji dengan angka fantastis dari rata-rata standar gaji nasional--belum lagi gelar "yang terhormat" melekat padanya. Masihkah pantas sebutan itu untuk 'mereka' ?

Tidak semua memang seperti itu, kita juga masih memiliki politisi, elite, wakil yang memiliki hati nurani, jiwa patriotik, dan amanah. Masalahnya, sedikit sekali. Tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi 'arus' yang besar tadi. Dilematis, memang. Padahal, cost alias biaya yang harus di tanggung dari sikap kepura-puran elite tadi, sangat luar biasa--baik itu social cost maupun material cost-nya. Dengan metoda enteng-entengan betapa sangat mudah membuktikan besaran pemborosan atas hipotesa di atas. Biaya rapat mencapai ratusan juta per bulan. Demikian halnya dalih kunjungan kerja atau studi banding bisa menghabiskan anggaran milyaran rupiah dengan hasil yang sangat nihil. Rasanya tidak ada ruang bagi logika untuk bisa menerimanya dengan sehat.

Sebenarnya tradisi ini bisa dibalikkan, seandainya semangat komitmen kepada rakyat dan atas dasar amanah menjadi latar belakang kinerja bagi para elite. Kalau saja, rapat atau sidang yang adakan itu benar-benar dan sungguh-sungguh membahas masalah sekaligus menjadi problem solving (way out) bagi masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat, maka menjadi bisa dipahami-- kendati rapat atau sidang itu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal sama juga berlaku bagi kunjungan kerja atau studi banding-studi banding yang berulang-ulang itu.

Tulisan ini memang belum terlalu dalam membahas bagaimana setelah kenyataan terpapar itu. Baru sekadar secara sederhana mengekspresikan kegetiran atas fenomena itu. Sekaligus bermaksud mengajak untuk memikirkan dan menjadi ruang publik untuk didiskusikan secara bersama. Dan untuk tidak bermaksud mengeneralisir, sekali lagi bahwa diantara fakta kebanyakan itu, sesungguhnya masih tersisas diantara elite yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Kita doakan semoga yang tersisa itu, tetap bertahan dan setia atas sikap mulia itu. Wallahu a'lam bishshawab.

Sabtu, 06 Oktober 2007

Puasa Puasa Ke Singapura ( Akhir )

Dua hari di Malaysia

Sejak jam 08.00 saya sudah kelar dari segala urusan rigid di kamar. Sudah ready untuk urusan diluar hotel. Tampak yang lainnya masih di kamar bahkan, sahabat Ipong yang paling telat. Entah apa dia sempat sahur apa tidak, soalnya disepakati sahur masing-masing. Jam 08.30 saya melakukan konfirmasi dengan pihak HSC (Healt Singapore Center) melalui ms. Levina soal schedule check up sahabat Said Amin. Ternyata, hasil percakapan saya di telepon dengan ms. Levina didapatkan keterangan bahwa sang dokter masih berada di luar negeri dan check up sahabat Said Amin baru bisa dilakukan pada hari Kamis, 27/09/07. Mendengar kabar itu, ini hampir dipastikan jadwal kepulangan sepertinya bakal tertunda. Rencana sih justru hari Kamis itu schedule flight balik ke 'dalam negeri'. Trus selama masa menunggu tersebut pikiran kami lantas terbayang betapa 'kosongnya' waktu-waktu di Singapura ini. Ditengah situasi ambigu seperti itu, sahabat H. Sabri mengajukan usul bagaimana kalau waktu jeda ini rombongan ke Kuala Lumpur, Malaysia. Boleh juga nih usul. Toh, perjalanan ke sana bisa ditempuh via darat dengan estimasi waktu plus minus enam jam lamanya. Jika via pesawat hanya ditempuh 35 menit. ''Bos, kita pake pesawat aja, enam jam itu lama dan ini puasa kan'' potong sahabat Ipong. Kami pun menoleh ke arahnya dan seperti biasa kami hanya bisa ketawa dan mengangguk dibuatnya. Kami pun akhirnya memutuskan berangkat Siang itu dengan pesawat Singapore Airlines ke Kuala Lumpur. Dan bisa dibayangkan cerita selanjutnya, kami melewati 2 (dua) hari dengan indah di Malaysia.

Balik ke Singapura

Hari kamis pagi kami pun bertolak kembali ke Singapura dengan pesawat Malaysia Airlines. Begitu sampai di Singapura kami pun kemudian menjalani hari-hari di Singapura dengan sangat rileks, amat santai. Mulai dari menemani menemani sahabat Said Amin dan Sahabat Fahrianto melakukan medical check up dan segala urusan yang berkenaan hal itu sampai urusan tour de mall. Sejatinya, ada bagian-bagian tertentu yang saya tidak ceritakan dalam catatan ini, misalnya bagaimana suasana berobat di Mount Elizabeth Hospital, apalagi sahabat Fahrianto sempat sehari semalam di opname di sana--belum lagi bagaimana pelayanan dokter yang amat sangat ramah dan profesional, bagaimana si Nabiel yang ngotot pengen cobain 'train' alias Kereta Api Bawah Tanahnya Singapura, dan lain-lain. Semua itu dilakonin ditengah suasana berpuasa. Ya itulah, puasa-puasa ke Singapura. Kami akhirnya bertahan sampai hari selasa (02/10/07) di Singapura. Selasa, jam 14.00 wita dengan Silk Air dari Changi Airport kami akhirnya kembali ke Balikpapan. Suasana terakhir kami adalah menikmati megahnya airport Changi Singapura itu, bahkan pada batas tertentu tidak berlebihan jika dikatakan lebih mewah dari mall termewah yang ada di tanah air (ini boleh juga berlebihan). Demikian sekadar catatan perjalanan puasa-puasa ke Singapura. (tamat).


Puasa Puasa Ke Singapura ( 2 )

Karena kecapaian, tidur pun lelap nyaris tak terjaga. Untunglah sebelum tidur tadi saya sudah pesan ke receptionis dengan wake up call pada jam 17.00 local time. Bangun, mandi dan sholat qashar takdim (Dhuhur dan Ashar). Jam 17.35 'pasukan' sudah pada ngumpul di lobby hotel. Lantas, semua sepakat berbuka puasa di Newton Seafood. Kita pun melaju dengan fan Mercedes taxi ke tempat itu. Waktu berbuka pun tiba-dimulai dengan es kelapa muda dan dilanjutkan hidangan aneka seafood diselesaikan secara adat (istilah kami soal saking lahapnya) nyaris tak bersisa. Karena memang rombongan kecuali sahabat bang Agus termasuk mazhab ahli hisap (perokok), kami lantas mencabut masing sebatang rokok sampoerna mild, tiba-tiba " ssst " ujar sahabat Popo Parulian (sahabat yang setahun terakhir tinggal di Singapura dan ikut bergabung buka puasa) tanda mengingatkan bahwa meski di warung ini terbuka tetap sebagai zona larangan merokok. Kita pun dituntunnya ke pojok kompleks , pojok bagi perokok. Kami semua bisa memahami. Memang di Singapura dan di kebanyakan negara di luar Indonesia, perokok sudah sangat dipersempit ruang geraknya.

Setelah urusan buka puasa kelar, kita pun balik ke hotel. Karena waktu baru menunjukkan jam 20.00 kami pun melanjutkan menikmati sisa waktu shopping malam hari. Sekadar mengisi waktu sambil bisa beli T-shirt dan lokasinya pun dipilih yang disekitar hotel. Mulai dari Tang, Lucky Plaza, Paragon Plaza, Takashiyama Tower (Ngee Ann City), iSetan, Marriot dan lainnya. Lagian di Singapura juga sedang sale besar-besaran layaknya sale menjelang lebaran di Indonesia. Minimal-cuci mata sekalian.

Waktu pun berjalan sampai pada pukul 22.00 tanpa terasa. Kalau tadinya hanya sekadar mengisi waktu, tapi tampak semua rombongan pulang dengan masing-masing barang bawaan yang lumayan banyak. "wah, ini mah bukan cuci mata namanya, ini shopping benaran" celetukku. "gak tahan juga hanya dilewatin begitu saja, wal" jawab mereka. Apalagi sahabat Ipong, dia boleh parah soal urusan puasa, giliran shopping-dia paling bernafsu. Dasar, gak kehabisan akal, dia pun menjawab " justru ini berkah puasa, bos". Kami hanya bisa tertawa mendengarnya. Asli lucu dan suasana menjadi segar karenanya. Sambil ngobrol ini itu tanpa terasa kami pun sampai di hotel hyatt tempat kami menginap. Setelah menitipkan barang belian tadi pada petugas hotel untuk di dilevery di kamar masing-masing, obrolan dilanjutkan di resto hotel dilantai dua hingga larut. Macam-macam tema dibicarakan, ya soal bisnis, soal batubara, soal listrik, soal property, soal politik, sampai soal parcel dan THR (Tunjungan Hari Raya) serta soal-soal lainnya.

Karena sahabat Said Amin sesuai rencana besoknya harus menjalani check up di HSC (Healt Singapore Center) dengan dr. Michael Lee--saya pun menyela untuk istirahat. Pembicaraan atas berbagai topik tadi diakhiri dan kami selanjutnya menuju kamar masing-masing untuk istirahat. ( bersambung ke bagian ketiga )

Sabtu, 29 September 2007

Puasa Puasa Ke Singapura

Hari Ahad malam (23/09/07) sekitar jam 23.30 wita, sang 'putra mahkota' berlari ke kamar saya sambil mengabarkan bahwa " om Said " (baca: Said Amin) mau bicara. Rupanya sahabat Said Amin menelpon ke rumah dan saya pun menerimanya. "wal, aku minta tolong, bisakah temanin ke Singapura" kata Said Amin di ujung telepon. "apa tidak bisa ditunda-setelah lebaran, misalnya ? " tanyaku. Setelah sahabat saya ini menceritakan semuanya tentang "misi" perjalanan ke Singapura, sepertinya saya kehabisan argumentasi untuk menolak ajakan sahabat ini. "terus, kapan berangkatnya ?" kembali saya bertanya. "besok pagi" tandasnya. Allahumma, artinya tinggal beberapa jam lagi. Lantas, karena malas pergi hanya berdua atau bertiga, maka kemudian saya mengajak dua orang sahabat yang saya perkirakan bisa di 'culik' mendadak. Ternyata, benar dugaan saya, kedua sahabat yang lain tadi berhasil pun saya bujuk. Artinya, kami berangkat dengan 7 (tujuh) orang 'pasukan'. Biar perjalanan lebih rame dan seru.

Setelah bersahur, saya pun bersiap-siap mengemasi pakaian seadanya. Sebab jam 6.30 pagi sudah harus start ke Balikpapan (international airport). Jam 6.45 wita, sahabat Ipong sudah menjemput saya di rumah selanjutnya kami berdua menjemput sahabat bang Agus. Kami bertiga meluncur ke Balikpapan, sedang Sahabat Said Amin, H. Sabri, dan Nabiel juga sudah mendahului kami dengan kendaraan yang berbeda.

Cerita mulai menjadi rame. Sahabat Ipong ini biangnya. Dia mulai menggoda kami dengan lontaran-lontaran pertanyaan dan joke-joke yang mengundang tawa. Dia mulai menggoda kami dengan 'fatwa-fatwa' imaginer dia soal puasa. Dia melontarkan pertanyaan " kita kan ini musafir, kata ustadz orang yang musafir (dalam perjalanan) tidak wajib puasa lho, trus kalo kita puasa, apa Tuhan justru tidak menilai sombong ? katanya. " lho kenapa" ? timpal Sahabat bang Agus. " "Ya iyalah...Tuhan kasi kita discount koq kita malah tolak, gimana sih ! " jawabnya dengan tangkas. Saya benar-benar dibuatnya terpingkal-pingkal ketawa. "wah, otak kotor ipong mulai kambuh nih" selahku. Eh, bukannya malah reda, malah dia mengeluarkan permen dari saku jaketnya kemudian menawari ke kami berdua, kalau-kalau mulut kami kering, katanya. Makin parah ini. Memang, kalau soal puasa, sahabat Ipong ini terbilang payah. Sepanjang perjalanan dia terus menggoda kami agar mau membatalkan puasa. Dengan demikian dia pun bisa membatalkan puasanya. Kami ini ingin di justifikasi olehnya. Sampai kami di Balikpapan godaan dia gak mempan.

Sampai di airport, kami bergabung semua dan sambil menunggu 'agen' kami mengurusi tiket perjalanan ke Singapura, kami bertujuh rileks di Blue Sky lounge. Dasar sahabat Ipong yang bawaan puasanya mulai kedodoran, jurus menggodanya dimulai lagi. Memang di lounge itu, aneka makanan dan minuman yang cukup menggoda iman lumayan banyak tersedia. "Hei, bubur ayam, bubur kacang ijo, kolak pisang, dan makanan lain luar biasa lho, perjalanan masih panjang lho, trus ini masih pagi-arttinya buka puasanya masih lama. Sudahlah, kita kan musafir " godanya. "Gak ah, mending baca koran" kataku. "baca koran, sambil makan kolak, wiih tambah sebatang rokok. Lagian baca koran gak bisa bikin kita jadi menteri, tapi makan kolak, wiih " balasnya. Banyangin aja 'akal'nya sahabat Ipong ini. Tanpa terasa kami sudah hampir dua jam duduk di lounge. Tiba-tiba 'agen' kami datang memberitahukan bahwa sebentar lagi boarding. Kami bersiap-siap menuju ruang tunggu. Selang beberapa menit akhirnya kami take off dengan pesawat Silk Air, anak perusahaan Singapore Airlines. Tepatnya Jam 11.05 wita. Penerbangan ke Singapura ditempuh selama 2 jam. Waktu Singapura sama dengan waktu di Balikpapan (wita).

Setelah menempuh perjalanan dua jam, kami pun tiba jam 13.15 wita di Changi International Airport di Singapura. Setelah urusan keimigrasian, kami selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Hyatt Hotel Singapura dengan taxi. Perjalanan ke hotel hanya memakan waktu 30 menit. Mungkin karena berangkat dari Samarinda pagi banget, dan kurang tidur, cukup terasa juga lelahnya. Apalagi sahabat Ipong, pokoknya paling kedodoran. Akhirnya kami bersepakat masuk kamar masing-masing untuk istirahat dan kembali kumpul menjelang buka puasa. Tidur dulu ya (jarang-jarang bisa tidur siang)....to be continue.

Rabu, 12 September 2007

Puasa Dan Sifat Egois Manusia

Baru saja ber-sahur di Ramadhan hari pertama. Baik dalam perspektif teologis maupun sosiologis, puasa memiliki dimensi yang sangat luas--dalam menuntun potensi kemanusiaan menuju kesadaran akan statuta kehambaan manusia. Sejauh mana seseorang bisa sampai pada 'maqom' dalam relasi transendental manusia dengan Tuhannya, akan sangat bergantung pada sejauh mana manusia itu mampu 'mengkanvaskan' sifat kemanusiaannya. Itulah yang sering diistilahkan dengan kata EGO. Ego dalam batas-batas tertentu adalah sangat manusiawi. Karena memang pada setiap jiwa ada sifat ego itu. Sifat tersebut menjadi manusiawi ketika masih berada dalam lingkar orbit egalitarian. Akan menjadi lain, jika sudah sampai pada pemenuhan sifat ego seseorang secara berlebihan, sementara menafikan kewujudan sesama. Secara sosial prilaku ini disebut dengan istilah egois. Suatu sifat mementingkan diri atau kelompok sendiri.

Dalam banyak hal, kerap kita menyaksikan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memaksakan kehendak kepentingannya, sementara menafikan yang lainnya. Atau karena kapasitas dan kemampuan seseorang memenuhi kehendaknya kendati tanpa melanggar kehendak lainnya, akan tetapi abai pada tanggung jawab kemanusiaannya kepada sesama. Hal terakhir ini juag menjadi fenomena sosial yang cukup kronis. Seorang dengan mudah menikmati 'hidupnya' sementara kehilangan kepekaan sosial dengan membiarkan yang lain 'meratapi' hidupnya.

Puasa dan segenap amaliyah Ramadhan menjadi momentum yang strategis untuk kembali menakar sejauh mana eskalasi penyakit abai sosial kita. Sekaligus akan menguji tanggungjawab kemanusiaan kita dengan sesama. Oleh karenanya, seruan puasa kepada orang-orang yang beriman dalam Al Qur'an surah Al Baqarah secara bersamaan juga mengindikasikan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan seseorang menempati nilai yang sama dalam perspektif tingkat ketaqwaannya. Artinya, Islam menolak sifat mementingkan diri sendiri (egois) sementara menafikan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan. Secara derevatif termasuk merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri, paling berhak sendiri.

Akhirnya, semoga puasa kita pada Ramadhan ini membawa kita menjadi manusia tawaddhu, menebalkan kepekaan sosial dan kemanusiaan kita. Dibalik segala yang kita miliki ada hak orang lain. Dan Insya Allah, kita termasuk orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Amin ya Robbul 'alamin. SELAMAT BERPUASA. MOHON MAAF LAHIR BATHIN, TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM.


Minggu, 02 September 2007

Event Nasional Taekwondo Indonesia

Sudah sepekan ini Pengda Taekwondo Indonesia Kaltim, lumayan sibuk dari biasanya. Pasalnya, pada tanggal 6 s/d 8 September 2007, Kalimantan Timur menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kejuaraan Nasional Pra PON dan Ambasador Cup II. Sejak tiga hari terakhir, kontingen dari daerah-daerah lain pada berdatangan di Bumi Etam, Kalimantan Timur. Karenanya, sebagai Ketua Pengda Taekwondo Indonesia Kaltim, menjadi ikutan sibuk. Untunglah ada Kapten Asrul Azis (Kasi Pers Korem 091/ASN) selaku wakil ketua Panitia Pelaksana bersama kawan-kawan Taekwondoin serta kawan-kawan perwira dan personil Korem 091/ASN yang sangat gesit dan cekatan mempersiapkan segala sesuatunya berkenan event nasional tersebut.

Event yang renacananya dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga RI, Ketua Umum Koni Pusat, Pangkostrad TNI, Letjend Erwin Sudjono (Ketua Umum PBTI), Duta Besar Korea Selatan Untuk Indonesia, Pejabat WTF (World Taekwondo Federation), dan sejumlah tokoh-tokoh nasional akan menambah "heboh" event ini. Kegiatan ini juga akan dimeriahkan dengan atraksi seni beladiri Taekwondo yang secara khusus didatangkan dari Korea.

Dalam sepekan terakhir ini, juga hampir setiap harinya saya melakukan pemantuan langsung latihan atlet-atlet Taekwondo Kaltim yang juga akan bertarung dimatras kejurnas tersebut. Atlet Kaltim yang sudah menjelang 2 (dua) tahun menjalani program PUSLATDA, tampak sudah tidak sabar menunggu hari H kegiatan bergensi itu. Saya puas melihat persiapan anak-anak (sebutan saya pada atlet Taekwondo Kaltim). Dalam kejuaraan sebelumnya (kejuaraan GANESHA) di Bandung belum lama ini, Kaltim menjadi Juara Umum. Bertaekwondo memang dahsyat. Semoga event-nya sukses dan Kaltim menjadi Juara. Amin.

Rabu, 29 Agustus 2007

" Sarjana " dan PNS

Dua hari yang lalu saya kedatangan 'tamu' dari Makassar. Dia masih terbilang keluarga, dan memang sewaktu masih kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) saya 'indekost' di rumahnya-di bilangan Sultan Alauddin II Gunung Sari Makassar. 'tamu' saya ini adalah alumni Fakultas Teknik Industri di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

" Daeng, saya kesini (baca: Kaltim) selain silaturrahmi, juga bermaksud untuk bertanya-tanya soal pendaftaran PNS " katanya disuatu kesempatan ngobrol dengan saya. " memang kenapa , dek ? " saya balik bertanya kepadanya. " pusingkah bEla, 4 tahunmma menganggur, 2 kalima mendaftar PNS di sana (baca:Makassar) tapi tida lulus-luluska " timpalnya dengan dialek bugisnya yang kental. Pembicaraan kami selanjutnya mengalir apa adanya tanpa topik.

Apakah paradigma "tamu" saya ini menjadi refsentasi dari kebanyakan paradigma atau cara berfikir sarjana Indonesia. Entahlah !, tapi penulis dalam banyak kesempatan menemui banyak contoh dari banyak sarjana dan keluarganya memiliki pandangan seperti itu. Kerapkali dikantor atau dirumah penulis menerima tamu yang meminta bantuan agar dia atau anaknya dan atau keluarganya bisa diuruskan menjadi PNS, bahkan dengan cara menyuap sekalipun, mereka menyatakan mau dan sanggup. "bapak, kan banyak kenalan pejabat, saya sudah menyiapkan 35 juta untuk urusan ini. Tapi kalau mereka (baca: pengambil kebijakan) meminta lebih dari itu, tidak apa-apa yang penting anak saya bisa lulus." Kata seorang ibu suatu ketika. 'maaf, ibu jangan tersinggung, saya mau tanya : darimana ibu bisa memperoleh dana sebanyak itu ? tanya penulis. " terus terang pak, uang kami sebenarnya hanya 10 juta, selebihnya kami pinjam dengan keluarga tambah jual perhiasan" jawabnya lagi. "daripada anak saya menganggur pak, dia sudah 3 tahun lulur sarjana, dan sudah dua kali mendaftar PNS, tapi tidak lulus-lulus" sambung ibu tadi. Luar biasa perhatian ibu ini pada anaknya, kataku membatin.

Ibu yang diceritakan diatas atau siapa pun itu yang melihat PNS sebagai pekerjaan atau profesi yang memiliki masa depan bagus adalah wajar dan sah-sah saja. Memiliki pandangan bahwa menjadi PNS akan mendapatkan status sosial dengan kelas dan strata tertentu juga memang benar. Akan tetapi kalau saja semua sarjana atau keluarganya di negara ini berpikiran sama, tak terbayangkan akibat sosial yang dipastikan merugikan tidak hanya oleh negara, juga oleh mereka yang memiliki pandangan seperti itu. Sampai kapan negara mampu menampung para sarjana kita menjadi PNS semua. Sampai kapan anggaran negara (termasuk anggaran daerah) mampu membayar gaji, pensiunan, dll untuk semua itu.

Atau jangan-jangan karena cara berpikir seperti ini, sehingga sebagian sarjana kita kehilangan kesempatan melihat peluang dan momentum strategis lain, selain menjadi PNS. Kalau itu yang terjadi, maka menjadi tidak heran kalau sampai hari ini, masih sangat banyak sarjana yang menganggur tidak memiliki pekerjaan. Bahkan mungkin saja, masih bejibun sarjana masih 'terpaksa' merepotkan orangtua. Kalau sudah di point ini, mungkin tidak salahnya mengingat perkataan seorang bijak--bahwa kita tidak akan pernah mampu melihatan betapa indah dan dahsyatnya lautan luas kalau belum memiliki keberanian meninggalkan pantai.

Tulisan ini bermaksud semaksimal mungkin memahami kondisi yang dialami oleh sebagian sarjana kita, yang serba dilematis itu. Juga ingin membentangkan suatu fakta bahwa sungguh semua sarjana ingin menjadi PNS tentulah mustahil. Dan pada saat yang bersamaan, kesempatan kerja disektor swasta amatlah terbuka, dinamis, dan menantang. Bahkan saat ini sudah amat trend isue-isue kemandirian pemuda. Sebab juga sudah banyak contoh dimana pemuda kita berhasil dalam sektor swasta dan usaha mandiri.

Kalau saja sudah pernah sekali duakali mendaftar , tapi belum juga berhasil--mungkin alangkah baiknya untuk juga mencoba pada kesempatan lain diluar semangat menjadi PNS. Jika kesempatan menjadi PNS ada, mendaftar segera. Tapi jangan dengan cara menyuap, apalagi uang suapnya diperoleh dengan cara meminjam. Bangkit dan hijrahlah dari cara berfikir yang justru bisa menjebak dalam penantian entah sampai kapan. Wallahu a'alm bisshawab.


Minggu, 26 Agustus 2007

Buku Kedua Akhirnya Kelar Juga

Sepintas, 'menulis' memang kelihatan sederhana dan gampang-gampang saja. Apalagi menulis artikel, opini, kolom, atau esai--ternyata dalam eksprimennya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kendati bagi sebahagian penulis yang sudah memiliki ' jam terbang' tinggi, asumsi ini mungkin baginya tidak berlaku. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan menulis disamping harus didorong dengan kemauan, mood, juga ternyata tidak bisa lepas dari napak tilas penulisnya menjelajahi berbagai refrensi dan narasumber. Biasanya keinginan menulis muncul dari sifat "gila" membaca, entah buku, koran, jurnal, majalah, atau tulisan kolom-kolom koran harian. Bagi sebahagian orang, membaca sudah seperti kegiatan ritual yang harus dipenuhi dan ditunaikan. Dari sini kadang muncul rasa kagum pada karya-karya 'tulis' sumber tadi. Lantas berfikir kalau-kalau suatu saat kita bisa punya karya seperti mereka. Setidak-tidaknya, muncul keinginan menulis.

Bermula dari hobby baca buku (agama, politik, iptek, dan rekayasa sosial, dll)--diam-diam muncul keinginan belajar menulis. Dalam banyak kesempatan mengikuti forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan sejenisnya semakin mematangkan 'niat terpendam' tadi. Semangat itu semakin tebal setelah membaca dan mengikuti tampilnya pemikiran dan kajian tokoh intelektual dan akademis dalam negeri dalam ragam perspektif secara dinamis di tengah interaksi pergaulan ilmiah membawa paradigma baru bagi generasi bangsa. Quraish Shihab, Imanuddin Abrurrahman (bang Imad), Azzumardi Asra, Din Syamsudin, Syafii Maa'rif, Amien Rais, Nurcholis Madjid (alm) dalam bidang kajian keislaman dan keindonesiaan, Ada Arbi Sani, Eep Saefullah Fatah, Mahfud MD, Rizal Mallarangen, Imam Santoso, dll pada bidang kajian politik. Ada Faisal Basri, Sri Mulyani, Anggito Abimayu, Umar Juoro, Mari S. Pangestu, dll untuk bidang pemikiran dan kajian ekonomi dan keuangan. Ada Yusril Ihza Mahendra, Harun Ar Rasyid, Daniel Sparingga, Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution), Achmad Ali, dll pada bidang kajian hukum dan ketatanegraan. Ada Reinald Gazali, Hermawan Kertajaya untuk bidang Riset bisnis dan marketing. Dan bidang-bidang pemikiran dan kajian lainnya. Bersamaan dengan itu bermunculan juga tokoh-tokoh intelektual manacanegara yang sangat produktif dalam karya-karya monumentalnya.

Akhirnya saya pun belajar menulis. Mulai dari menulis makalah untuk acara-acara seminar dan forum diskusi, artikel koran, esay dan sampai belajar membuat tulisan untuk buku. Melihat dari banyaknya buku dan karya para tokoh yang terbaca, semestinya sudah puluhan buku yang terbit. Akan tetapi rupanya produktifitas membaca saya belum bisa mengimbangi dari produktifitas menulis. Tapi memang menulis lebih banyak sulitnya tinimbang gampangnya. Butuh talenta khusus, betatapun sebahagian orang bilang bahwa menulis itu, gampang-gampang susah.

Akan tetapi serendah apapun produktifitas menulis, saya bersyukur kepada Allah SWT dan berterima-kasih kepada sahabat Muchaer Pakanna, Nurdin Abbas yang telah cukup 'lelah' membantu mewujudkan naskah tulisan saya menjadi buku. Special thanks kepada Penerbit Cidesindo Jakarta yang telah bersedia menerbitkan karya anak 'fakir' ini. Buku pertama, REFORMASI TERUS BERGERAK, Kemana Sang Pelopor Mengorbit ?, yang sudah setahun sebelumnya telah terbit. Setelah jatuh bangun, akhirnya buku kedua yang bertajuk "Mozaik Pembangunan Kaltim Dalam Berbagai Prisma" kelar juga. Buku yang pengantarnya oleh Prof. DR. Umar Juoro (ekokom CIDES), Insya Allah September 2007 sudah bisa dijumpai di Gramedia dan tokoh-tokoh buku lainnya. Sementara buku ketiga sedang dalam penyempurnaan naskah. Insya Allah, buku ketiga lebih sarat dengan kontent Kemanusiaan dan Keagamaan. Mohon do'a dari semua. Jazakumullahu Khairan Jazaa.

Jumat, 24 Agustus 2007

Eksploitasi SDA Dan Peran Perusahaan Asing

Sebagai wilayah yang memiliki deposito sumberdaya mineral dan alam yang cukup besar, Kalimantan Timur menjadi obyek yang sangat menggiurkan bagi pengusaha asing (penanaman modal asing) untuk menanamkan modalnya. Dipilihnya sektor-sektor pertambangan yang diminati di Kaltim karena investasinya yang dibutuhkan besar serta teknologi di dalam negeri relatif belum tersedia. Kehadiran perusahaan asing di wilayah Kalimantan Timur berikut modalnya telah memberi konstribusi besar bagi ekonomi Kalimantan Timur.

Masalahnnya ada pada aspek nilai tambah (value added) yang diperoleh bangsa dan wilayah Kalimantan Timur. Berbagai penelitian menunjukkan, kehadiran modal asing ternyata tidak mendorong terjadinya transfer of technology dan Indonesia dinilai cenderung lemah bargaining position-nya dalam perjanjian kontrak karya dengan perusahaan asing yang bergerak di sektor pertambangan sehingga nilai tambah yang diharapkan tidak pernah tercapai. Kenyataan tersebut diatas memberi pengaruh yang sangat besar bagi defisit transaksi berjalan. Selain itu externalities negatif yang ditimbulkan oleh penanaman modal asing, seperti pencemaran lingkungan, kerusakan alam, kenyataannya melampaui nilai manfaat yang diperoleh.

Penanaman modal asing juga tidak serta merta menumbuhkan kegiatan perdagangan di wilayah operasinya. Hal itu karena wilayah kerja perusahan asing hanya berfungsi sebagai tempat eksploitasi sumberdaya alam, sedangkan perdagangan untuk mendukung input produksi atau pemasaran hasil produksi berlangsung di Jakarta, bahkan di luar Indonesia, sehingga multiplier effect investasi tidak terjadi di wilayah operasi perusahaan asing. Keadaan ini tentu tidak boleh terus dibiarkan berlangsung dan karenanya dibutuhkan perangkat peraturan bahwa transaksi sehubungan operasi perusahaan itu dilakukan semaksimal mungkin dilakukan di wilayah operasi perusahaan tersebut sehingga akan tumbuh kegiatan perdagangan di wilayah tersebut.

Tulisan ini bermaksud menggugah bahwa di masa datang, investasi yang dilakukan pengusaha asing di daerah dalam wilayah Indonesia, harus dilihat dalam konteks konstribusinya terhadap nilai tambah yang diperoleh, yaitu transfer of technology, peningkatan kegiatan perdagangan (trading activities), penyerapan tenaga kerja, dan kemanfaatan lainnya yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, disamping mampu meminimalisasi faktor axternalities negatif.

Kamis, 16 Agustus 2007

Kontrak Politik : Apa Sudah Cukup ?

Apresiasi publik terhadap dialektika demokrasi dan diskursus politik di negeri ini kian hari kian menempati rating yang sangat tinggi. Seolah semua orang enggan kehilangan momentum untuk tidak memberi pendapat, respon, agregasi dan artikulasi untuk urusan yang memang belum selesai perumusan flatform-nya itu. Diantara isue politik yang selalu mengundang banyak opini adalah soal seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pilkada-pilkada (provinsi, kota, dan kabupaten) di berbagai daerah juga tak kalah seru dari pemilu Presiden beberapa tahun lalu. Mulai dari soal pigur kandidat, kendaraan politik (baca: parpol atau koalisi parpol), anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black kampain, money politics, kontrak politik sampai isue-isue pelibatan unsur ' magic ' dalam soal unsur pilkada. Itu potret dimana pilkada telah menjadi isue yang cukup "seksi" dalam interaksi sosial politik di negeri ini.

Agar spektrumnya tidak terlalu melebar, tulisan ini hanya membatasi masalah kontrak politik saja. Kontrak politik diapresiasikan publik kepada para kandidat pemimpin agar kelak jika terpilih tidak ingkar janji. Kontrak politik diasumsikan lebih dari sekadar janji.

Adegium yang mengatakan bahwa " ikan rusak mulai dari kepala (insan)nya" acapkali dipakai untuk menggambarkan potret kepemimpinan yang dinilai tidak membawa kemajuan dan kejahteraan. Alih-alih bicara soal kemajuan, kepemimpinan bahkan seringkali menyajikan tontonan kepura-puraan, pemborosan, salah urus, miss manejemen, retoris, kolutif, nepotis, dan praktek korupsi. Latar pengalaman kemimpinan dengan wajah yang seperti itu, mendorong sikap trauma dan antipati rakyat. Panggung-panggung kampaye, brosur, pamflet, flyer, dan bekas-bekas banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tidak ampuhnya janji-janji retoris sang pemimpin menjadikan publik mencari model lain selain model ala orasi panggung dan tagline-tagline kampanye sang kandidat. Lantas, model ala kontrak politik menjadi trend y
ang diyakini publik bersifat mengikat. Selain disaksikan dan diumumkan secara luas ke masyarakat, juga sang kandidat bahkan menandatangani yang disaksikan oleh perwakilan masyarakat yang dianggap refsentatif. Pertanyaannya kemudian adalah cukup ampuhkah model ini mengikat sang kandidat ?

Pengalaman empiris membuktikan bahwa hampir tidak ada pengaruh signifikan terhadap relasi antara kontrak politik dengan prilaku pemimpin dan kepemimpinan. Kontrak politik baru sebatas instrumen pendongkrak popularitas sang kandidat. Kontrak politik sebagai alat pemuas sang kadidat untuk meminimalisir resistensi dengan rakyat. Apalagi sang kandidat paham betul bahwa dikemudian hari, selain sanksi moral--tidak ada sanksi yuridis yang harus dihadapi kendati tidak terjadi pemenuhan atas kontrak politik itu. Tengoklah, hampir tidak ada calon yang menolak ketika disodori kontrak politik--se "seram" apapun klausa kontrak politiknya. Bahkan respon sang kandidat terhadap isu kontrak politik itu beragam. Ada yang merespon bahwa kontrak politik adalah keharusan sebagai bukti kesungguhan. " jangankan nanti, sekarang pun di minta tanda-tangan, saya siap " demikian respon kandidat lain. " dan respon-respon senada yang terkesan tanpa beban.

Sejatinya kontrak politik bagi sang kandidat adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat. Tapi apa boleh buat kita harus bersabar menunggu !.

Event pilkada di daerah terus berjalan bersama semakin menipisnya sikap percaya rakyat pada praktek dan prilaku elite. Sulit untuk tidak memahami posisi sikap rakyat itu, sebab secara jujur memang masih saja terus berlangsung "eksploitasi" rakyat dalam arena politik dan kekuasaan. Kenali benar kandidat, tahu track recordnya, tahu akan kemampuan, kejujuran, dan keunggulan positif lainnya adalah pertimbangan utama dalam rekruitmen kepemimpinan di daerah. Disamping bahwa kandidat diyakini mampu memediasi kepentingan-kepentingan di tingkat rakyat. Kandidat adalah tokoh yang sejuk, elegaliter, non sektarian, dan memiliki visi kepemimpinan yang handal bagi kemajuan daerah. Bahwa kontrak politik menjadi salah satu intrumen bagi rakyat tentu sangat diperlukan untuk menguji kesungguhan sang kandidat, akan tetapi faktor di luar itu juga sangat menjadi penting untuk juga kita kenali dan pertimbangkan. Bukankah rakyat sudah tidak sabar menanti lahirnya pemimpin sejati. Sejati akan kemampuannya, juga sejati dalam pemenuhan janjinya kepada rakyat. Selamat bagi pemimpin yang sudah mendedikasikan kinerjanya bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu a'alam bisshawab.




Minggu, 12 Agustus 2007

Benca Alam : Diantara Musibah dan Peringatan

Pada hari ini-Rabu, 8 Agustus 2007 secara mendadak harus ke Jakarta untuk urusan bertemu dengan PANGKOSTRAD TNI, bapak Jenderal Erwin (baca: Letjend Erwin Sudjono)-demikian sapaan akrab saya kepada beliau yang juga mantan Pangdam VI/Tanjungpura itu. Setelah urusan dengan beliau selesai, saya kemudian diajak makam malam oleh seorang teman di resto Jepang hotel Sultan (Hilton). Usai urusan makan kelar, kami berdua kembali ke hotel Grand Hyatt tempat kami menginap dan sebelum masuk kamar masing-masing, kami menyempatkan diri mampir di Fountain Cafe di lobby hotel Grand Hyatt untuk sekadar ngopi sambil ' menikmati ' live music-nya. Sekitar satu jam kami ngobrol ini itu, tiba-tiba lampu-lampu cafe yang persis menghadap bundaran HI itu, pada berayun dan minuman kami pun di meja ikut berantakan. Setelah mencermati sepintas keadaan sekeliling baru kami terjaga bahwa telah terjadi Gempa Bumi. Seketika itu juga semua pengunjung dan tamu hotel tampak panik berhamburan keluar dari area hotel. Saat ikut berjalan keluar hotel saya masih sempat melirik siaran TV yang sudah menyiarkan tentang gempa bumi yang tengah terjadi itu. Ternyata berkekuatan di atas 7 scala ricghter, dengan pusat gempa di Indramayu Jawa Barat.

Peristiwa alam tadi menjadi stimulan diskusi kami soal-soal musibah dan bencana alam yang menimpah beberapa wilayah di negeri kita ini dalam tahun-tahun terakhir. Sebutlah bencana banjir bandang di Sulawesi, bencana banjir terbesar di Jakarta, tanah longsor di Sumatera, semburan lumpur Lapindo, Kebakaran Hutan di Kalimantan, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi itu sebenarnya menjadi isyarat bagi semua stakeholder bahwa selama ini telah terjadi kesalahan pengelolaan alam. Demi uang, kesimbangan alam dan keutuhan ekologis terpaksa terkalahkan. Perusakan hutan dimana-mana, praktek ilegal logging dan ilegal mining masih saja terus berlangsung. Eskalasi kerusakan hutan secara nasional sangat parah, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat kerusakan hutan terparah di dunia. Aparat keamanan telah berusaha maksimal menegakkan hukum, tapi memang yang namanya perusak, selalu saja ada akal untuk memuluskan aksinya. Sayangnya yang namanya bencana tidak bisa memilih, bencana tidak saja menggilas orang-orang yang bersalah termasuk yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban.

Esok harinya, saya pun balik lagi ke Balikpapan. Ketika pesawat terbang rendah saya menyaksikan betapa kerusakan hutan yang terjadi telah melewati batas toleransi. Hutan-hutan pada gundul. Kubangan akibat eksploitasi tambang menganga tanpa direklamasi. Sangatlah logis berlaku hukum kausalitas. Ada aksi ada reaksi, ada sebab ada akibat. Kapan pengrusakan alam ini bisa berhenti ?. Kalau saja eskalasi kerusakan alam semakin massif, maka ini menjadi isyarat bahwa bencana dan musibah yang lebih dahsyat setiap saat menjadi ancaman.

Tidak ada pilihan lain, kampanye terhadap perlindungan alam menjadi wajib terus di gelorakan. Kalau kita peduli atas terjaganya kesimbangan alam dan keutuhan ekologis kita, maka penegakan hukum lingkungan menjadi urgent dan prioritas. Jangan sampai terlanjur alam bosan bersahabat dengan kita seperti kata Ebit G. Ade. Peristiwa memilukan yang melanda negeri dalam tahun-tahun terakhir harus mampu menjadi peringatan bahwa tangan-tangan manusia memiliki andil yang sangat potensial dalam proses terjadinya kerusakan alam. Wallahu a'lam bisshawab.

Senin, 06 Agustus 2007

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Sungguh amat tepat kalimat assalamu 'alaikum Wr. Wb. di atas sebagai sandi atas launching 'my e-addres' ini. Kalimat salam tadi membawa pesan bahwa secara polos bermaksud mengatakan bahwa ini pertama kalinya saya masuk diarena trend budaya blogger atau dikomunitas pergaulan elektronik yang ternyata luar biasa itu. Jadi kalau saja kemudian 'tamu' merasa 'halaman' ini, tidak terlalu enak sebagai sebuah blogg ideal, jawabannya sudah jelas bahwa memang karena keterbatasan pengetahuan soal yang satu ini. Bahasa ini sedikit lebih halus kalau saya terlalu jujur mengatakan bahwa memang gagap teknologi. " Hari segini belum punya web atau blogg ? " demikian potongan kalimat banyak sahabat yang pernah menyindir saya. Para sahabat tadi benar. Bahkan saran sahabat saya Erwin Dede Nugroho, jurnalist Jawa Post Group sekaligus pemilik situs http//:www.windede.com agar segera punya website sendiri. Kalimat salam tadi juga sebagai indikasi betapa luar biasanya Rahmat Allah SWT--Tuhan Yang Maha Kuasa, atas diturunkannya pengetahuan dan ilmu kepada manusia untuk dijadikan lapangan beramal.

Berikutnya, halaman ini akan terisi beberapa artikel, opini, dan esai dalam banyak dimensi dan perspektif. Tentu juga berisi informasi atau berita yang kemungkinan dibutuhkan sebagian dan kebanyakan orang dari beberapa sumber. Doakan semoga produktif dan Insya Allah kita akan berjumpa dalam tulisan-tulisan brikutnya. (060807)

Salam hormat


andiharun





Kemerdekaan Dan Ironi Kebangsaan

Suara merdu lagu balada Ebiet G. Ade dari audio mobil berflat merah yang saya pake makin menambah haru suasana ditengah mengiringi perjalanan mengantar Istri ke Rumah Sakit untuk kontrol yang siang itu mendadak "melayang", menggigil, dan terasa sesak. Selama perjalanan itu saya menyaksikan anak-anak sekolah lagi pada rame--ada yang menunggu jemputan, menunggu angkot di halte, naik sepeda motor--pokoknya dijalanan rame oleh pelajar. Oh iya...saya melirik jam tangan, memang jam pulang sekolah. Siratan kepolosan yang terpancar dari para pelajar tadi mengingatkan saya 20 tahun silam. Disebuah kabupaten di selatan Makassar, Kabupaten Sinjai-- tempat dimana saya menghabiskan masa-masa kanak-kanak hingga remaja. Mulai SD sampai SMA disanalah saya bersekolah. Khayalan masa lalu tadi seketika buyar saat mobil sudah berhenti didepan pintu utama Rumah Sakit yang kami tuju. " Istirahat, makan teratur dan minum vitamin " kata dr. Catra Gunawan, SPD. seraya menyerahkan lembaran resep obat yang harus ditebus setelah sang istri usai dilakukan diagnosa menyeluruh. "Alhamdulillah" kataku membathin.

Baru saja ketika ingin 'kembali' ke cerita masa kecil tadi, saya cukup "terganggu" dengan maraknya pedagang jualan bendera merah putih, umbul-umbul merah putih, dan asesoris merah putih lainnya di trotoar-trotoar jalan. Koq sampai serame ini. Astagfirullah...Agustus. Iya bulan ini Agustus. Barulah muncul pemahaman saya terhadap fenomena dadakan ini. Agustus ternyata membawa hikmah pada sebagian warga dengan memanfaatkan berjualan asesoris merah putih-warna bendera bumi Indonesia. Peringatan kemerdekaan yang jatuh di bulan Agustus itu masihkah membawa manfaat lain ?, tentu selain simbol berakhirnya imprealisme asing.

Kalau para pejuang dan the founding father telah memberikan kemerdekaan bagi mereka bernama rakyat itu, lantas pemimpin yang terbentuk setelahnya-- gerangan bingkisan apa telah mereka dapatkan ? kemerdeakaan lain yang bisa para pemimpin--persembahkan, apa ? Kemerdekaan dari rasa ingin hidup layak di negerinya sendiri kapan ? Lantas kalau bukan untuk mereka seremoni peringatan dirgahayu kemerdekaan setiap tahun itu untuk apa ? Dan masih banyak lain pertanyaan hipotetik yang kemudian muncul dan terkesan menjadi ironi ditengah hiruk pikuk, gegap gempita peringatan dirgahayu Republik Indonesia.

Setiap kali pidato kenegaraan 16 Agustus, selalu saja tersirat ajakan Pemerintah untuk merenungkan bagaimana para pejuang menancapkan tonggak sejarah yang luar biasa. Juga berisi penekanan bahwa tugas generasi setelahnya menjaga, mengisi, dan melanjutkan perjuangan para syuhada itu dalam lapangan dan medan perjuangan yang memiliki dimensi dan spektrum yang lebih kompleks untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pidato semacam itu dibaca mulai Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga lurah dan Kepala Sekolah.

Disaat yang sama kita dengan amat terang menyaksikan " parade " ironi kebangsaan yang sedang belangsung. Petani semakin hari makin terpuruk, entah sampai kapan kebijakan berpihak kepada mereka. Harga dasar gabah makin jauh dari ironi kebijakan impor beras pemerintah. Derajat dan kualitas kesehatan penduduk bangsa yang makin turun apalagi untuk mampu menembus standar hidup layak versi WHO. Alih-alih bicara standart internasional, soal kemampuan menekan atas makin melambungnya harga susu balita juga kedodoran. Ironi memang. Kesempatan memperoleh hak pendidikan yang murah apalagi gratis dari Pemerintah entah sampai kapan rakyat berharap. Justru ditengah kampanye pendidikan murah itu, lagi-lagi ironi tak terelakkan--pungutan ini dan itu makin menjadi-jadi seolah tak terkontrol, pembayaran dengan dalih sumbangan ini dan itu bukan rahasia umum lagi. Dan masih panjang lagi ironi kebangsaan kita yang memilukan itu.

Kalau para elite menikmati peringatan kemerdekaan Republik Indonesia diatas penggung kehormatan, plus dengan malam resepsi HUT-nya yang pasti meriah dan biasanya di Istana, di rumah Jabatan Kepala Daerah, pertanyaannya adalah bagaimana kelompok " mereka " tadi itu menikmati suatu Indonesia yang berkeadilan dalam momentum peringatan hari kemerdekaan ? Kalau sudah sampai di sini, siapa dan bagaimana menjawabnya menjadi semakin panjang dan semakin lama entah sampai kapan " mereka " harus bersabar.

Eh ternyata sudah sedemikian jauh pikiran-pikiran ini bergeser, sampai-sampai tidak sadar kalau sedari tadi sudah tiba di rumah kembali. " pa, bagaimana kita peringati HUT RI-nya " demikian pertanyaan Muh. Afif Rayhan--putra saya yang masih duduk kelas 5 sekolah dasar itu. " kalau 17 Agustus nanti, Insya Allah papa akan merayakan dengan tidur dan istirahat sepanjang hari " Jawaban saya kepadanya. Iya, Istirahat sejenak dari menyaksikan atas deretan ironi kebangsaan kita yang semestinya tidak terjadi. Wallahu 'alam bisshawab.