Pada hari ini-Rabu, 8 Agustus 2007 secara mendadak harus ke Jakarta untuk urusan bertemu dengan PANGKOSTRAD TNI, bapak Jenderal Erwin (baca: Letjend Erwin Sudjono)-demikian sapaan akrab saya kepada beliau yang juga mantan Pangdam VI/Tanjungpura itu. Setelah urusan dengan beliau selesai, saya kemudian diajak makam malam oleh seorang teman di resto Jepang hotel Sultan (Hilton). Usai urusan makan kelar, kami berdua kembali ke hotel Grand Hyatt tempat kami menginap dan sebelum masuk kamar masing-masing, kami menyempatkan diri mampir di Fountain Cafe di lobby hotel Grand Hyatt untuk sekadar ngopi sambil ' menikmati ' live music-nya. Sekitar satu jam kami ngobrol ini itu, tiba-tiba lampu-lampu cafe yang persis menghadap bundaran HI itu, pada berayun dan minuman kami pun di meja ikut berantakan. Setelah mencermati sepintas keadaan sekeliling baru kami terjaga bahwa telah terjadi Gempa Bumi. Seketika itu juga semua pengunjung dan tamu hotel tampak panik berhamburan keluar dari area hotel. Saat ikut berjalan keluar hotel saya masih sempat melirik siaran TV yang sudah menyiarkan tentang gempa bumi yang tengah terjadi itu. Ternyata berkekuatan di atas 7 scala ricghter, dengan pusat gempa di Indramayu Jawa Barat.
Peristiwa alam tadi menjadi stimulan diskusi kami soal-soal musibah dan bencana alam yang menimpah beberapa wilayah di negeri kita ini dalam tahun-tahun terakhir. Sebutlah bencana banjir bandang di Sulawesi, bencana banjir terbesar di Jakarta, tanah longsor di Sumatera, semburan lumpur Lapindo, Kebakaran Hutan di Kalimantan, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi itu sebenarnya menjadi isyarat bagi semua stakeholder bahwa selama ini telah terjadi kesalahan pengelolaan alam. Demi uang, kesimbangan alam dan keutuhan ekologis terpaksa terkalahkan. Perusakan hutan dimana-mana, praktek ilegal logging dan ilegal mining masih saja terus berlangsung. Eskalasi kerusakan hutan secara nasional sangat parah, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat kerusakan hutan terparah di dunia. Aparat keamanan telah berusaha maksimal menegakkan hukum, tapi memang yang namanya perusak, selalu saja ada akal untuk memuluskan aksinya. Sayangnya yang namanya bencana tidak bisa memilih, bencana tidak saja menggilas orang-orang yang bersalah termasuk yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban.
Esok harinya, saya pun balik lagi ke Balikpapan. Ketika pesawat terbang rendah saya menyaksikan betapa kerusakan hutan yang terjadi telah melewati batas toleransi. Hutan-hutan pada gundul. Kubangan akibat eksploitasi tambang menganga tanpa direklamasi. Sangatlah logis berlaku hukum kausalitas. Ada aksi ada reaksi, ada sebab ada akibat. Kapan pengrusakan alam ini bisa berhenti ?. Kalau saja eskalasi kerusakan alam semakin massif, maka ini menjadi isyarat bahwa bencana dan musibah yang lebih dahsyat setiap saat menjadi ancaman.
Tidak ada pilihan lain, kampanye terhadap perlindungan alam menjadi wajib terus di gelorakan. Kalau kita peduli atas terjaganya kesimbangan alam dan keutuhan ekologis kita, maka penegakan hukum lingkungan menjadi urgent dan prioritas. Jangan sampai terlanjur alam bosan bersahabat dengan kita seperti kata Ebit G. Ade. Peristiwa memilukan yang melanda negeri dalam tahun-tahun terakhir harus mampu menjadi peringatan bahwa tangan-tangan manusia memiliki andil yang sangat potensial dalam proses terjadinya kerusakan alam. Wallahu a'lam bisshawab.
Peristiwa alam tadi menjadi stimulan diskusi kami soal-soal musibah dan bencana alam yang menimpah beberapa wilayah di negeri kita ini dalam tahun-tahun terakhir. Sebutlah bencana banjir bandang di Sulawesi, bencana banjir terbesar di Jakarta, tanah longsor di Sumatera, semburan lumpur Lapindo, Kebakaran Hutan di Kalimantan, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi itu sebenarnya menjadi isyarat bagi semua stakeholder bahwa selama ini telah terjadi kesalahan pengelolaan alam. Demi uang, kesimbangan alam dan keutuhan ekologis terpaksa terkalahkan. Perusakan hutan dimana-mana, praktek ilegal logging dan ilegal mining masih saja terus berlangsung. Eskalasi kerusakan hutan secara nasional sangat parah, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat kerusakan hutan terparah di dunia. Aparat keamanan telah berusaha maksimal menegakkan hukum, tapi memang yang namanya perusak, selalu saja ada akal untuk memuluskan aksinya. Sayangnya yang namanya bencana tidak bisa memilih, bencana tidak saja menggilas orang-orang yang bersalah termasuk yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban.
Esok harinya, saya pun balik lagi ke Balikpapan. Ketika pesawat terbang rendah saya menyaksikan betapa kerusakan hutan yang terjadi telah melewati batas toleransi. Hutan-hutan pada gundul. Kubangan akibat eksploitasi tambang menganga tanpa direklamasi. Sangatlah logis berlaku hukum kausalitas. Ada aksi ada reaksi, ada sebab ada akibat. Kapan pengrusakan alam ini bisa berhenti ?. Kalau saja eskalasi kerusakan alam semakin massif, maka ini menjadi isyarat bahwa bencana dan musibah yang lebih dahsyat setiap saat menjadi ancaman.
Tidak ada pilihan lain, kampanye terhadap perlindungan alam menjadi wajib terus di gelorakan. Kalau kita peduli atas terjaganya kesimbangan alam dan keutuhan ekologis kita, maka penegakan hukum lingkungan menjadi urgent dan prioritas. Jangan sampai terlanjur alam bosan bersahabat dengan kita seperti kata Ebit G. Ade. Peristiwa memilukan yang melanda negeri dalam tahun-tahun terakhir harus mampu menjadi peringatan bahwa tangan-tangan manusia memiliki andil yang sangat potensial dalam proses terjadinya kerusakan alam. Wallahu a'lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar