Senin, 06 Agustus 2007

Kemerdekaan Dan Ironi Kebangsaan

Suara merdu lagu balada Ebiet G. Ade dari audio mobil berflat merah yang saya pake makin menambah haru suasana ditengah mengiringi perjalanan mengantar Istri ke Rumah Sakit untuk kontrol yang siang itu mendadak "melayang", menggigil, dan terasa sesak. Selama perjalanan itu saya menyaksikan anak-anak sekolah lagi pada rame--ada yang menunggu jemputan, menunggu angkot di halte, naik sepeda motor--pokoknya dijalanan rame oleh pelajar. Oh iya...saya melirik jam tangan, memang jam pulang sekolah. Siratan kepolosan yang terpancar dari para pelajar tadi mengingatkan saya 20 tahun silam. Disebuah kabupaten di selatan Makassar, Kabupaten Sinjai-- tempat dimana saya menghabiskan masa-masa kanak-kanak hingga remaja. Mulai SD sampai SMA disanalah saya bersekolah. Khayalan masa lalu tadi seketika buyar saat mobil sudah berhenti didepan pintu utama Rumah Sakit yang kami tuju. " Istirahat, makan teratur dan minum vitamin " kata dr. Catra Gunawan, SPD. seraya menyerahkan lembaran resep obat yang harus ditebus setelah sang istri usai dilakukan diagnosa menyeluruh. "Alhamdulillah" kataku membathin.

Baru saja ketika ingin 'kembali' ke cerita masa kecil tadi, saya cukup "terganggu" dengan maraknya pedagang jualan bendera merah putih, umbul-umbul merah putih, dan asesoris merah putih lainnya di trotoar-trotoar jalan. Koq sampai serame ini. Astagfirullah...Agustus. Iya bulan ini Agustus. Barulah muncul pemahaman saya terhadap fenomena dadakan ini. Agustus ternyata membawa hikmah pada sebagian warga dengan memanfaatkan berjualan asesoris merah putih-warna bendera bumi Indonesia. Peringatan kemerdekaan yang jatuh di bulan Agustus itu masihkah membawa manfaat lain ?, tentu selain simbol berakhirnya imprealisme asing.

Kalau para pejuang dan the founding father telah memberikan kemerdekaan bagi mereka bernama rakyat itu, lantas pemimpin yang terbentuk setelahnya-- gerangan bingkisan apa telah mereka dapatkan ? kemerdeakaan lain yang bisa para pemimpin--persembahkan, apa ? Kemerdekaan dari rasa ingin hidup layak di negerinya sendiri kapan ? Lantas kalau bukan untuk mereka seremoni peringatan dirgahayu kemerdekaan setiap tahun itu untuk apa ? Dan masih banyak lain pertanyaan hipotetik yang kemudian muncul dan terkesan menjadi ironi ditengah hiruk pikuk, gegap gempita peringatan dirgahayu Republik Indonesia.

Setiap kali pidato kenegaraan 16 Agustus, selalu saja tersirat ajakan Pemerintah untuk merenungkan bagaimana para pejuang menancapkan tonggak sejarah yang luar biasa. Juga berisi penekanan bahwa tugas generasi setelahnya menjaga, mengisi, dan melanjutkan perjuangan para syuhada itu dalam lapangan dan medan perjuangan yang memiliki dimensi dan spektrum yang lebih kompleks untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pidato semacam itu dibaca mulai Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga lurah dan Kepala Sekolah.

Disaat yang sama kita dengan amat terang menyaksikan " parade " ironi kebangsaan yang sedang belangsung. Petani semakin hari makin terpuruk, entah sampai kapan kebijakan berpihak kepada mereka. Harga dasar gabah makin jauh dari ironi kebijakan impor beras pemerintah. Derajat dan kualitas kesehatan penduduk bangsa yang makin turun apalagi untuk mampu menembus standar hidup layak versi WHO. Alih-alih bicara standart internasional, soal kemampuan menekan atas makin melambungnya harga susu balita juga kedodoran. Ironi memang. Kesempatan memperoleh hak pendidikan yang murah apalagi gratis dari Pemerintah entah sampai kapan rakyat berharap. Justru ditengah kampanye pendidikan murah itu, lagi-lagi ironi tak terelakkan--pungutan ini dan itu makin menjadi-jadi seolah tak terkontrol, pembayaran dengan dalih sumbangan ini dan itu bukan rahasia umum lagi. Dan masih panjang lagi ironi kebangsaan kita yang memilukan itu.

Kalau para elite menikmati peringatan kemerdekaan Republik Indonesia diatas penggung kehormatan, plus dengan malam resepsi HUT-nya yang pasti meriah dan biasanya di Istana, di rumah Jabatan Kepala Daerah, pertanyaannya adalah bagaimana kelompok " mereka " tadi itu menikmati suatu Indonesia yang berkeadilan dalam momentum peringatan hari kemerdekaan ? Kalau sudah sampai di sini, siapa dan bagaimana menjawabnya menjadi semakin panjang dan semakin lama entah sampai kapan " mereka " harus bersabar.

Eh ternyata sudah sedemikian jauh pikiran-pikiran ini bergeser, sampai-sampai tidak sadar kalau sedari tadi sudah tiba di rumah kembali. " pa, bagaimana kita peringati HUT RI-nya " demikian pertanyaan Muh. Afif Rayhan--putra saya yang masih duduk kelas 5 sekolah dasar itu. " kalau 17 Agustus nanti, Insya Allah papa akan merayakan dengan tidur dan istirahat sepanjang hari " Jawaban saya kepadanya. Iya, Istirahat sejenak dari menyaksikan atas deretan ironi kebangsaan kita yang semestinya tidak terjadi. Wallahu 'alam bisshawab.

Tidak ada komentar: