Kamis, 16 Agustus 2007

Kontrak Politik : Apa Sudah Cukup ?

Apresiasi publik terhadap dialektika demokrasi dan diskursus politik di negeri ini kian hari kian menempati rating yang sangat tinggi. Seolah semua orang enggan kehilangan momentum untuk tidak memberi pendapat, respon, agregasi dan artikulasi untuk urusan yang memang belum selesai perumusan flatform-nya itu. Diantara isue politik yang selalu mengundang banyak opini adalah soal seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pilkada-pilkada (provinsi, kota, dan kabupaten) di berbagai daerah juga tak kalah seru dari pemilu Presiden beberapa tahun lalu. Mulai dari soal pigur kandidat, kendaraan politik (baca: parpol atau koalisi parpol), anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black kampain, money politics, kontrak politik sampai isue-isue pelibatan unsur ' magic ' dalam soal unsur pilkada. Itu potret dimana pilkada telah menjadi isue yang cukup "seksi" dalam interaksi sosial politik di negeri ini.

Agar spektrumnya tidak terlalu melebar, tulisan ini hanya membatasi masalah kontrak politik saja. Kontrak politik diapresiasikan publik kepada para kandidat pemimpin agar kelak jika terpilih tidak ingkar janji. Kontrak politik diasumsikan lebih dari sekadar janji.

Adegium yang mengatakan bahwa " ikan rusak mulai dari kepala (insan)nya" acapkali dipakai untuk menggambarkan potret kepemimpinan yang dinilai tidak membawa kemajuan dan kejahteraan. Alih-alih bicara soal kemajuan, kepemimpinan bahkan seringkali menyajikan tontonan kepura-puraan, pemborosan, salah urus, miss manejemen, retoris, kolutif, nepotis, dan praktek korupsi. Latar pengalaman kemimpinan dengan wajah yang seperti itu, mendorong sikap trauma dan antipati rakyat. Panggung-panggung kampaye, brosur, pamflet, flyer, dan bekas-bekas banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tidak ampuhnya janji-janji retoris sang pemimpin menjadikan publik mencari model lain selain model ala orasi panggung dan tagline-tagline kampanye sang kandidat. Lantas, model ala kontrak politik menjadi trend y
ang diyakini publik bersifat mengikat. Selain disaksikan dan diumumkan secara luas ke masyarakat, juga sang kandidat bahkan menandatangani yang disaksikan oleh perwakilan masyarakat yang dianggap refsentatif. Pertanyaannya kemudian adalah cukup ampuhkah model ini mengikat sang kandidat ?

Pengalaman empiris membuktikan bahwa hampir tidak ada pengaruh signifikan terhadap relasi antara kontrak politik dengan prilaku pemimpin dan kepemimpinan. Kontrak politik baru sebatas instrumen pendongkrak popularitas sang kandidat. Kontrak politik sebagai alat pemuas sang kadidat untuk meminimalisir resistensi dengan rakyat. Apalagi sang kandidat paham betul bahwa dikemudian hari, selain sanksi moral--tidak ada sanksi yuridis yang harus dihadapi kendati tidak terjadi pemenuhan atas kontrak politik itu. Tengoklah, hampir tidak ada calon yang menolak ketika disodori kontrak politik--se "seram" apapun klausa kontrak politiknya. Bahkan respon sang kandidat terhadap isu kontrak politik itu beragam. Ada yang merespon bahwa kontrak politik adalah keharusan sebagai bukti kesungguhan. " jangankan nanti, sekarang pun di minta tanda-tangan, saya siap " demikian respon kandidat lain. " dan respon-respon senada yang terkesan tanpa beban.

Sejatinya kontrak politik bagi sang kandidat adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat. Tapi apa boleh buat kita harus bersabar menunggu !.

Event pilkada di daerah terus berjalan bersama semakin menipisnya sikap percaya rakyat pada praktek dan prilaku elite. Sulit untuk tidak memahami posisi sikap rakyat itu, sebab secara jujur memang masih saja terus berlangsung "eksploitasi" rakyat dalam arena politik dan kekuasaan. Kenali benar kandidat, tahu track recordnya, tahu akan kemampuan, kejujuran, dan keunggulan positif lainnya adalah pertimbangan utama dalam rekruitmen kepemimpinan di daerah. Disamping bahwa kandidat diyakini mampu memediasi kepentingan-kepentingan di tingkat rakyat. Kandidat adalah tokoh yang sejuk, elegaliter, non sektarian, dan memiliki visi kepemimpinan yang handal bagi kemajuan daerah. Bahwa kontrak politik menjadi salah satu intrumen bagi rakyat tentu sangat diperlukan untuk menguji kesungguhan sang kandidat, akan tetapi faktor di luar itu juga sangat menjadi penting untuk juga kita kenali dan pertimbangkan. Bukankah rakyat sudah tidak sabar menanti lahirnya pemimpin sejati. Sejati akan kemampuannya, juga sejati dalam pemenuhan janjinya kepada rakyat. Selamat bagi pemimpin yang sudah mendedikasikan kinerjanya bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu a'alam bisshawab.




3 komentar:

Web Admin mengatakan...

Senang melihat ada anggota legislatis dari Kaltim yang mulai nge-blog... Mudah2an hal ini memicu lebih jauh keterlibatan masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya secara online. Saya masukkan blog ini ke blogroll saya, mudah2an semakin banyak yang tahu.

PAC PDI PERJUANGAN PASAR REBO mengatakan...

satu hal yang ingin saya sampikan dan ingatkan bahwa "KONTRAK POLITIK" muncul dan di munculkan oleh masyarakat /pemilih kepada sang kandidat, jadi kontrak politik bukan lah yang langsung di sodorkan kepada pemilih, namun si kandidat melihat pemilih menginkan hal itu... jadi pasangan mega prabowo tidak pernah mebuat kontrak politik tapi menerima kontrak politik dengan konsekuensi dilaksankan jika terpilih nanti hal ini lebih berarti dari pada omongan saja.

Ayahnya anak-anak mengatakan...

nah... bagaimana dengan kesepakatan atau saya sebut saja konspirasi antar parpol yang disebut-sebut sebagai kontrak politik yang baru saja ditandatangani... saya pribadi tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah kontrak politik yang memberikan hasil positif bagi kehidupan bernegara kita...
melainkan hanya sebuah cara untuk menghaluskan dominasi kekuasaan politik..