Rabu, 29 Agustus 2007

" Sarjana " dan PNS

Dua hari yang lalu saya kedatangan 'tamu' dari Makassar. Dia masih terbilang keluarga, dan memang sewaktu masih kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) saya 'indekost' di rumahnya-di bilangan Sultan Alauddin II Gunung Sari Makassar. 'tamu' saya ini adalah alumni Fakultas Teknik Industri di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

" Daeng, saya kesini (baca: Kaltim) selain silaturrahmi, juga bermaksud untuk bertanya-tanya soal pendaftaran PNS " katanya disuatu kesempatan ngobrol dengan saya. " memang kenapa , dek ? " saya balik bertanya kepadanya. " pusingkah bEla, 4 tahunmma menganggur, 2 kalima mendaftar PNS di sana (baca:Makassar) tapi tida lulus-luluska " timpalnya dengan dialek bugisnya yang kental. Pembicaraan kami selanjutnya mengalir apa adanya tanpa topik.

Apakah paradigma "tamu" saya ini menjadi refsentasi dari kebanyakan paradigma atau cara berfikir sarjana Indonesia. Entahlah !, tapi penulis dalam banyak kesempatan menemui banyak contoh dari banyak sarjana dan keluarganya memiliki pandangan seperti itu. Kerapkali dikantor atau dirumah penulis menerima tamu yang meminta bantuan agar dia atau anaknya dan atau keluarganya bisa diuruskan menjadi PNS, bahkan dengan cara menyuap sekalipun, mereka menyatakan mau dan sanggup. "bapak, kan banyak kenalan pejabat, saya sudah menyiapkan 35 juta untuk urusan ini. Tapi kalau mereka (baca: pengambil kebijakan) meminta lebih dari itu, tidak apa-apa yang penting anak saya bisa lulus." Kata seorang ibu suatu ketika. 'maaf, ibu jangan tersinggung, saya mau tanya : darimana ibu bisa memperoleh dana sebanyak itu ? tanya penulis. " terus terang pak, uang kami sebenarnya hanya 10 juta, selebihnya kami pinjam dengan keluarga tambah jual perhiasan" jawabnya lagi. "daripada anak saya menganggur pak, dia sudah 3 tahun lulur sarjana, dan sudah dua kali mendaftar PNS, tapi tidak lulus-lulus" sambung ibu tadi. Luar biasa perhatian ibu ini pada anaknya, kataku membatin.

Ibu yang diceritakan diatas atau siapa pun itu yang melihat PNS sebagai pekerjaan atau profesi yang memiliki masa depan bagus adalah wajar dan sah-sah saja. Memiliki pandangan bahwa menjadi PNS akan mendapatkan status sosial dengan kelas dan strata tertentu juga memang benar. Akan tetapi kalau saja semua sarjana atau keluarganya di negara ini berpikiran sama, tak terbayangkan akibat sosial yang dipastikan merugikan tidak hanya oleh negara, juga oleh mereka yang memiliki pandangan seperti itu. Sampai kapan negara mampu menampung para sarjana kita menjadi PNS semua. Sampai kapan anggaran negara (termasuk anggaran daerah) mampu membayar gaji, pensiunan, dll untuk semua itu.

Atau jangan-jangan karena cara berpikir seperti ini, sehingga sebagian sarjana kita kehilangan kesempatan melihat peluang dan momentum strategis lain, selain menjadi PNS. Kalau itu yang terjadi, maka menjadi tidak heran kalau sampai hari ini, masih sangat banyak sarjana yang menganggur tidak memiliki pekerjaan. Bahkan mungkin saja, masih bejibun sarjana masih 'terpaksa' merepotkan orangtua. Kalau sudah di point ini, mungkin tidak salahnya mengingat perkataan seorang bijak--bahwa kita tidak akan pernah mampu melihatan betapa indah dan dahsyatnya lautan luas kalau belum memiliki keberanian meninggalkan pantai.

Tulisan ini bermaksud semaksimal mungkin memahami kondisi yang dialami oleh sebagian sarjana kita, yang serba dilematis itu. Juga ingin membentangkan suatu fakta bahwa sungguh semua sarjana ingin menjadi PNS tentulah mustahil. Dan pada saat yang bersamaan, kesempatan kerja disektor swasta amatlah terbuka, dinamis, dan menantang. Bahkan saat ini sudah amat trend isue-isue kemandirian pemuda. Sebab juga sudah banyak contoh dimana pemuda kita berhasil dalam sektor swasta dan usaha mandiri.

Kalau saja sudah pernah sekali duakali mendaftar , tapi belum juga berhasil--mungkin alangkah baiknya untuk juga mencoba pada kesempatan lain diluar semangat menjadi PNS. Jika kesempatan menjadi PNS ada, mendaftar segera. Tapi jangan dengan cara menyuap, apalagi uang suapnya diperoleh dengan cara meminjam. Bangkit dan hijrahlah dari cara berfikir yang justru bisa menjebak dalam penantian entah sampai kapan. Wallahu a'alm bisshawab.


Minggu, 26 Agustus 2007

Buku Kedua Akhirnya Kelar Juga

Sepintas, 'menulis' memang kelihatan sederhana dan gampang-gampang saja. Apalagi menulis artikel, opini, kolom, atau esai--ternyata dalam eksprimennya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kendati bagi sebahagian penulis yang sudah memiliki ' jam terbang' tinggi, asumsi ini mungkin baginya tidak berlaku. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan menulis disamping harus didorong dengan kemauan, mood, juga ternyata tidak bisa lepas dari napak tilas penulisnya menjelajahi berbagai refrensi dan narasumber. Biasanya keinginan menulis muncul dari sifat "gila" membaca, entah buku, koran, jurnal, majalah, atau tulisan kolom-kolom koran harian. Bagi sebahagian orang, membaca sudah seperti kegiatan ritual yang harus dipenuhi dan ditunaikan. Dari sini kadang muncul rasa kagum pada karya-karya 'tulis' sumber tadi. Lantas berfikir kalau-kalau suatu saat kita bisa punya karya seperti mereka. Setidak-tidaknya, muncul keinginan menulis.

Bermula dari hobby baca buku (agama, politik, iptek, dan rekayasa sosial, dll)--diam-diam muncul keinginan belajar menulis. Dalam banyak kesempatan mengikuti forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan sejenisnya semakin mematangkan 'niat terpendam' tadi. Semangat itu semakin tebal setelah membaca dan mengikuti tampilnya pemikiran dan kajian tokoh intelektual dan akademis dalam negeri dalam ragam perspektif secara dinamis di tengah interaksi pergaulan ilmiah membawa paradigma baru bagi generasi bangsa. Quraish Shihab, Imanuddin Abrurrahman (bang Imad), Azzumardi Asra, Din Syamsudin, Syafii Maa'rif, Amien Rais, Nurcholis Madjid (alm) dalam bidang kajian keislaman dan keindonesiaan, Ada Arbi Sani, Eep Saefullah Fatah, Mahfud MD, Rizal Mallarangen, Imam Santoso, dll pada bidang kajian politik. Ada Faisal Basri, Sri Mulyani, Anggito Abimayu, Umar Juoro, Mari S. Pangestu, dll untuk bidang pemikiran dan kajian ekonomi dan keuangan. Ada Yusril Ihza Mahendra, Harun Ar Rasyid, Daniel Sparingga, Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution), Achmad Ali, dll pada bidang kajian hukum dan ketatanegraan. Ada Reinald Gazali, Hermawan Kertajaya untuk bidang Riset bisnis dan marketing. Dan bidang-bidang pemikiran dan kajian lainnya. Bersamaan dengan itu bermunculan juga tokoh-tokoh intelektual manacanegara yang sangat produktif dalam karya-karya monumentalnya.

Akhirnya saya pun belajar menulis. Mulai dari menulis makalah untuk acara-acara seminar dan forum diskusi, artikel koran, esay dan sampai belajar membuat tulisan untuk buku. Melihat dari banyaknya buku dan karya para tokoh yang terbaca, semestinya sudah puluhan buku yang terbit. Akan tetapi rupanya produktifitas membaca saya belum bisa mengimbangi dari produktifitas menulis. Tapi memang menulis lebih banyak sulitnya tinimbang gampangnya. Butuh talenta khusus, betatapun sebahagian orang bilang bahwa menulis itu, gampang-gampang susah.

Akan tetapi serendah apapun produktifitas menulis, saya bersyukur kepada Allah SWT dan berterima-kasih kepada sahabat Muchaer Pakanna, Nurdin Abbas yang telah cukup 'lelah' membantu mewujudkan naskah tulisan saya menjadi buku. Special thanks kepada Penerbit Cidesindo Jakarta yang telah bersedia menerbitkan karya anak 'fakir' ini. Buku pertama, REFORMASI TERUS BERGERAK, Kemana Sang Pelopor Mengorbit ?, yang sudah setahun sebelumnya telah terbit. Setelah jatuh bangun, akhirnya buku kedua yang bertajuk "Mozaik Pembangunan Kaltim Dalam Berbagai Prisma" kelar juga. Buku yang pengantarnya oleh Prof. DR. Umar Juoro (ekokom CIDES), Insya Allah September 2007 sudah bisa dijumpai di Gramedia dan tokoh-tokoh buku lainnya. Sementara buku ketiga sedang dalam penyempurnaan naskah. Insya Allah, buku ketiga lebih sarat dengan kontent Kemanusiaan dan Keagamaan. Mohon do'a dari semua. Jazakumullahu Khairan Jazaa.

Jumat, 24 Agustus 2007

Eksploitasi SDA Dan Peran Perusahaan Asing

Sebagai wilayah yang memiliki deposito sumberdaya mineral dan alam yang cukup besar, Kalimantan Timur menjadi obyek yang sangat menggiurkan bagi pengusaha asing (penanaman modal asing) untuk menanamkan modalnya. Dipilihnya sektor-sektor pertambangan yang diminati di Kaltim karena investasinya yang dibutuhkan besar serta teknologi di dalam negeri relatif belum tersedia. Kehadiran perusahaan asing di wilayah Kalimantan Timur berikut modalnya telah memberi konstribusi besar bagi ekonomi Kalimantan Timur.

Masalahnnya ada pada aspek nilai tambah (value added) yang diperoleh bangsa dan wilayah Kalimantan Timur. Berbagai penelitian menunjukkan, kehadiran modal asing ternyata tidak mendorong terjadinya transfer of technology dan Indonesia dinilai cenderung lemah bargaining position-nya dalam perjanjian kontrak karya dengan perusahaan asing yang bergerak di sektor pertambangan sehingga nilai tambah yang diharapkan tidak pernah tercapai. Kenyataan tersebut diatas memberi pengaruh yang sangat besar bagi defisit transaksi berjalan. Selain itu externalities negatif yang ditimbulkan oleh penanaman modal asing, seperti pencemaran lingkungan, kerusakan alam, kenyataannya melampaui nilai manfaat yang diperoleh.

Penanaman modal asing juga tidak serta merta menumbuhkan kegiatan perdagangan di wilayah operasinya. Hal itu karena wilayah kerja perusahan asing hanya berfungsi sebagai tempat eksploitasi sumberdaya alam, sedangkan perdagangan untuk mendukung input produksi atau pemasaran hasil produksi berlangsung di Jakarta, bahkan di luar Indonesia, sehingga multiplier effect investasi tidak terjadi di wilayah operasi perusahaan asing. Keadaan ini tentu tidak boleh terus dibiarkan berlangsung dan karenanya dibutuhkan perangkat peraturan bahwa transaksi sehubungan operasi perusahaan itu dilakukan semaksimal mungkin dilakukan di wilayah operasi perusahaan tersebut sehingga akan tumbuh kegiatan perdagangan di wilayah tersebut.

Tulisan ini bermaksud menggugah bahwa di masa datang, investasi yang dilakukan pengusaha asing di daerah dalam wilayah Indonesia, harus dilihat dalam konteks konstribusinya terhadap nilai tambah yang diperoleh, yaitu transfer of technology, peningkatan kegiatan perdagangan (trading activities), penyerapan tenaga kerja, dan kemanfaatan lainnya yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, disamping mampu meminimalisasi faktor axternalities negatif.

Kamis, 16 Agustus 2007

Kontrak Politik : Apa Sudah Cukup ?

Apresiasi publik terhadap dialektika demokrasi dan diskursus politik di negeri ini kian hari kian menempati rating yang sangat tinggi. Seolah semua orang enggan kehilangan momentum untuk tidak memberi pendapat, respon, agregasi dan artikulasi untuk urusan yang memang belum selesai perumusan flatform-nya itu. Diantara isue politik yang selalu mengundang banyak opini adalah soal seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pilkada-pilkada (provinsi, kota, dan kabupaten) di berbagai daerah juga tak kalah seru dari pemilu Presiden beberapa tahun lalu. Mulai dari soal pigur kandidat, kendaraan politik (baca: parpol atau koalisi parpol), anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black kampain, money politics, kontrak politik sampai isue-isue pelibatan unsur ' magic ' dalam soal unsur pilkada. Itu potret dimana pilkada telah menjadi isue yang cukup "seksi" dalam interaksi sosial politik di negeri ini.

Agar spektrumnya tidak terlalu melebar, tulisan ini hanya membatasi masalah kontrak politik saja. Kontrak politik diapresiasikan publik kepada para kandidat pemimpin agar kelak jika terpilih tidak ingkar janji. Kontrak politik diasumsikan lebih dari sekadar janji.

Adegium yang mengatakan bahwa " ikan rusak mulai dari kepala (insan)nya" acapkali dipakai untuk menggambarkan potret kepemimpinan yang dinilai tidak membawa kemajuan dan kejahteraan. Alih-alih bicara soal kemajuan, kepemimpinan bahkan seringkali menyajikan tontonan kepura-puraan, pemborosan, salah urus, miss manejemen, retoris, kolutif, nepotis, dan praktek korupsi. Latar pengalaman kemimpinan dengan wajah yang seperti itu, mendorong sikap trauma dan antipati rakyat. Panggung-panggung kampaye, brosur, pamflet, flyer, dan bekas-bekas banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tidak ampuhnya janji-janji retoris sang pemimpin menjadikan publik mencari model lain selain model ala orasi panggung dan tagline-tagline kampanye sang kandidat. Lantas, model ala kontrak politik menjadi trend y
ang diyakini publik bersifat mengikat. Selain disaksikan dan diumumkan secara luas ke masyarakat, juga sang kandidat bahkan menandatangani yang disaksikan oleh perwakilan masyarakat yang dianggap refsentatif. Pertanyaannya kemudian adalah cukup ampuhkah model ini mengikat sang kandidat ?

Pengalaman empiris membuktikan bahwa hampir tidak ada pengaruh signifikan terhadap relasi antara kontrak politik dengan prilaku pemimpin dan kepemimpinan. Kontrak politik baru sebatas instrumen pendongkrak popularitas sang kandidat. Kontrak politik sebagai alat pemuas sang kadidat untuk meminimalisir resistensi dengan rakyat. Apalagi sang kandidat paham betul bahwa dikemudian hari, selain sanksi moral--tidak ada sanksi yuridis yang harus dihadapi kendati tidak terjadi pemenuhan atas kontrak politik itu. Tengoklah, hampir tidak ada calon yang menolak ketika disodori kontrak politik--se "seram" apapun klausa kontrak politiknya. Bahkan respon sang kandidat terhadap isu kontrak politik itu beragam. Ada yang merespon bahwa kontrak politik adalah keharusan sebagai bukti kesungguhan. " jangankan nanti, sekarang pun di minta tanda-tangan, saya siap " demikian respon kandidat lain. " dan respon-respon senada yang terkesan tanpa beban.

Sejatinya kontrak politik bagi sang kandidat adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat. Tapi apa boleh buat kita harus bersabar menunggu !.

Event pilkada di daerah terus berjalan bersama semakin menipisnya sikap percaya rakyat pada praktek dan prilaku elite. Sulit untuk tidak memahami posisi sikap rakyat itu, sebab secara jujur memang masih saja terus berlangsung "eksploitasi" rakyat dalam arena politik dan kekuasaan. Kenali benar kandidat, tahu track recordnya, tahu akan kemampuan, kejujuran, dan keunggulan positif lainnya adalah pertimbangan utama dalam rekruitmen kepemimpinan di daerah. Disamping bahwa kandidat diyakini mampu memediasi kepentingan-kepentingan di tingkat rakyat. Kandidat adalah tokoh yang sejuk, elegaliter, non sektarian, dan memiliki visi kepemimpinan yang handal bagi kemajuan daerah. Bahwa kontrak politik menjadi salah satu intrumen bagi rakyat tentu sangat diperlukan untuk menguji kesungguhan sang kandidat, akan tetapi faktor di luar itu juga sangat menjadi penting untuk juga kita kenali dan pertimbangkan. Bukankah rakyat sudah tidak sabar menanti lahirnya pemimpin sejati. Sejati akan kemampuannya, juga sejati dalam pemenuhan janjinya kepada rakyat. Selamat bagi pemimpin yang sudah mendedikasikan kinerjanya bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu a'alam bisshawab.




Minggu, 12 Agustus 2007

Benca Alam : Diantara Musibah dan Peringatan

Pada hari ini-Rabu, 8 Agustus 2007 secara mendadak harus ke Jakarta untuk urusan bertemu dengan PANGKOSTRAD TNI, bapak Jenderal Erwin (baca: Letjend Erwin Sudjono)-demikian sapaan akrab saya kepada beliau yang juga mantan Pangdam VI/Tanjungpura itu. Setelah urusan dengan beliau selesai, saya kemudian diajak makam malam oleh seorang teman di resto Jepang hotel Sultan (Hilton). Usai urusan makan kelar, kami berdua kembali ke hotel Grand Hyatt tempat kami menginap dan sebelum masuk kamar masing-masing, kami menyempatkan diri mampir di Fountain Cafe di lobby hotel Grand Hyatt untuk sekadar ngopi sambil ' menikmati ' live music-nya. Sekitar satu jam kami ngobrol ini itu, tiba-tiba lampu-lampu cafe yang persis menghadap bundaran HI itu, pada berayun dan minuman kami pun di meja ikut berantakan. Setelah mencermati sepintas keadaan sekeliling baru kami terjaga bahwa telah terjadi Gempa Bumi. Seketika itu juga semua pengunjung dan tamu hotel tampak panik berhamburan keluar dari area hotel. Saat ikut berjalan keluar hotel saya masih sempat melirik siaran TV yang sudah menyiarkan tentang gempa bumi yang tengah terjadi itu. Ternyata berkekuatan di atas 7 scala ricghter, dengan pusat gempa di Indramayu Jawa Barat.

Peristiwa alam tadi menjadi stimulan diskusi kami soal-soal musibah dan bencana alam yang menimpah beberapa wilayah di negeri kita ini dalam tahun-tahun terakhir. Sebutlah bencana banjir bandang di Sulawesi, bencana banjir terbesar di Jakarta, tanah longsor di Sumatera, semburan lumpur Lapindo, Kebakaran Hutan di Kalimantan, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi itu sebenarnya menjadi isyarat bagi semua stakeholder bahwa selama ini telah terjadi kesalahan pengelolaan alam. Demi uang, kesimbangan alam dan keutuhan ekologis terpaksa terkalahkan. Perusakan hutan dimana-mana, praktek ilegal logging dan ilegal mining masih saja terus berlangsung. Eskalasi kerusakan hutan secara nasional sangat parah, bahkan Indonesia masuk dalam peringkat kerusakan hutan terparah di dunia. Aparat keamanan telah berusaha maksimal menegakkan hukum, tapi memang yang namanya perusak, selalu saja ada akal untuk memuluskan aksinya. Sayangnya yang namanya bencana tidak bisa memilih, bencana tidak saja menggilas orang-orang yang bersalah termasuk yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban.

Esok harinya, saya pun balik lagi ke Balikpapan. Ketika pesawat terbang rendah saya menyaksikan betapa kerusakan hutan yang terjadi telah melewati batas toleransi. Hutan-hutan pada gundul. Kubangan akibat eksploitasi tambang menganga tanpa direklamasi. Sangatlah logis berlaku hukum kausalitas. Ada aksi ada reaksi, ada sebab ada akibat. Kapan pengrusakan alam ini bisa berhenti ?. Kalau saja eskalasi kerusakan alam semakin massif, maka ini menjadi isyarat bahwa bencana dan musibah yang lebih dahsyat setiap saat menjadi ancaman.

Tidak ada pilihan lain, kampanye terhadap perlindungan alam menjadi wajib terus di gelorakan. Kalau kita peduli atas terjaganya kesimbangan alam dan keutuhan ekologis kita, maka penegakan hukum lingkungan menjadi urgent dan prioritas. Jangan sampai terlanjur alam bosan bersahabat dengan kita seperti kata Ebit G. Ade. Peristiwa memilukan yang melanda negeri dalam tahun-tahun terakhir harus mampu menjadi peringatan bahwa tangan-tangan manusia memiliki andil yang sangat potensial dalam proses terjadinya kerusakan alam. Wallahu a'lam bisshawab.

Senin, 06 Agustus 2007

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Sungguh amat tepat kalimat assalamu 'alaikum Wr. Wb. di atas sebagai sandi atas launching 'my e-addres' ini. Kalimat salam tadi membawa pesan bahwa secara polos bermaksud mengatakan bahwa ini pertama kalinya saya masuk diarena trend budaya blogger atau dikomunitas pergaulan elektronik yang ternyata luar biasa itu. Jadi kalau saja kemudian 'tamu' merasa 'halaman' ini, tidak terlalu enak sebagai sebuah blogg ideal, jawabannya sudah jelas bahwa memang karena keterbatasan pengetahuan soal yang satu ini. Bahasa ini sedikit lebih halus kalau saya terlalu jujur mengatakan bahwa memang gagap teknologi. " Hari segini belum punya web atau blogg ? " demikian potongan kalimat banyak sahabat yang pernah menyindir saya. Para sahabat tadi benar. Bahkan saran sahabat saya Erwin Dede Nugroho, jurnalist Jawa Post Group sekaligus pemilik situs http//:www.windede.com agar segera punya website sendiri. Kalimat salam tadi juga sebagai indikasi betapa luar biasanya Rahmat Allah SWT--Tuhan Yang Maha Kuasa, atas diturunkannya pengetahuan dan ilmu kepada manusia untuk dijadikan lapangan beramal.

Berikutnya, halaman ini akan terisi beberapa artikel, opini, dan esai dalam banyak dimensi dan perspektif. Tentu juga berisi informasi atau berita yang kemungkinan dibutuhkan sebagian dan kebanyakan orang dari beberapa sumber. Doakan semoga produktif dan Insya Allah kita akan berjumpa dalam tulisan-tulisan brikutnya. (060807)

Salam hormat


andiharun





Kemerdekaan Dan Ironi Kebangsaan

Suara merdu lagu balada Ebiet G. Ade dari audio mobil berflat merah yang saya pake makin menambah haru suasana ditengah mengiringi perjalanan mengantar Istri ke Rumah Sakit untuk kontrol yang siang itu mendadak "melayang", menggigil, dan terasa sesak. Selama perjalanan itu saya menyaksikan anak-anak sekolah lagi pada rame--ada yang menunggu jemputan, menunggu angkot di halte, naik sepeda motor--pokoknya dijalanan rame oleh pelajar. Oh iya...saya melirik jam tangan, memang jam pulang sekolah. Siratan kepolosan yang terpancar dari para pelajar tadi mengingatkan saya 20 tahun silam. Disebuah kabupaten di selatan Makassar, Kabupaten Sinjai-- tempat dimana saya menghabiskan masa-masa kanak-kanak hingga remaja. Mulai SD sampai SMA disanalah saya bersekolah. Khayalan masa lalu tadi seketika buyar saat mobil sudah berhenti didepan pintu utama Rumah Sakit yang kami tuju. " Istirahat, makan teratur dan minum vitamin " kata dr. Catra Gunawan, SPD. seraya menyerahkan lembaran resep obat yang harus ditebus setelah sang istri usai dilakukan diagnosa menyeluruh. "Alhamdulillah" kataku membathin.

Baru saja ketika ingin 'kembali' ke cerita masa kecil tadi, saya cukup "terganggu" dengan maraknya pedagang jualan bendera merah putih, umbul-umbul merah putih, dan asesoris merah putih lainnya di trotoar-trotoar jalan. Koq sampai serame ini. Astagfirullah...Agustus. Iya bulan ini Agustus. Barulah muncul pemahaman saya terhadap fenomena dadakan ini. Agustus ternyata membawa hikmah pada sebagian warga dengan memanfaatkan berjualan asesoris merah putih-warna bendera bumi Indonesia. Peringatan kemerdekaan yang jatuh di bulan Agustus itu masihkah membawa manfaat lain ?, tentu selain simbol berakhirnya imprealisme asing.

Kalau para pejuang dan the founding father telah memberikan kemerdekaan bagi mereka bernama rakyat itu, lantas pemimpin yang terbentuk setelahnya-- gerangan bingkisan apa telah mereka dapatkan ? kemerdeakaan lain yang bisa para pemimpin--persembahkan, apa ? Kemerdekaan dari rasa ingin hidup layak di negerinya sendiri kapan ? Lantas kalau bukan untuk mereka seremoni peringatan dirgahayu kemerdekaan setiap tahun itu untuk apa ? Dan masih banyak lain pertanyaan hipotetik yang kemudian muncul dan terkesan menjadi ironi ditengah hiruk pikuk, gegap gempita peringatan dirgahayu Republik Indonesia.

Setiap kali pidato kenegaraan 16 Agustus, selalu saja tersirat ajakan Pemerintah untuk merenungkan bagaimana para pejuang menancapkan tonggak sejarah yang luar biasa. Juga berisi penekanan bahwa tugas generasi setelahnya menjaga, mengisi, dan melanjutkan perjuangan para syuhada itu dalam lapangan dan medan perjuangan yang memiliki dimensi dan spektrum yang lebih kompleks untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pidato semacam itu dibaca mulai Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga lurah dan Kepala Sekolah.

Disaat yang sama kita dengan amat terang menyaksikan " parade " ironi kebangsaan yang sedang belangsung. Petani semakin hari makin terpuruk, entah sampai kapan kebijakan berpihak kepada mereka. Harga dasar gabah makin jauh dari ironi kebijakan impor beras pemerintah. Derajat dan kualitas kesehatan penduduk bangsa yang makin turun apalagi untuk mampu menembus standar hidup layak versi WHO. Alih-alih bicara standart internasional, soal kemampuan menekan atas makin melambungnya harga susu balita juga kedodoran. Ironi memang. Kesempatan memperoleh hak pendidikan yang murah apalagi gratis dari Pemerintah entah sampai kapan rakyat berharap. Justru ditengah kampanye pendidikan murah itu, lagi-lagi ironi tak terelakkan--pungutan ini dan itu makin menjadi-jadi seolah tak terkontrol, pembayaran dengan dalih sumbangan ini dan itu bukan rahasia umum lagi. Dan masih panjang lagi ironi kebangsaan kita yang memilukan itu.

Kalau para elite menikmati peringatan kemerdekaan Republik Indonesia diatas penggung kehormatan, plus dengan malam resepsi HUT-nya yang pasti meriah dan biasanya di Istana, di rumah Jabatan Kepala Daerah, pertanyaannya adalah bagaimana kelompok " mereka " tadi itu menikmati suatu Indonesia yang berkeadilan dalam momentum peringatan hari kemerdekaan ? Kalau sudah sampai di sini, siapa dan bagaimana menjawabnya menjadi semakin panjang dan semakin lama entah sampai kapan " mereka " harus bersabar.

Eh ternyata sudah sedemikian jauh pikiran-pikiran ini bergeser, sampai-sampai tidak sadar kalau sedari tadi sudah tiba di rumah kembali. " pa, bagaimana kita peringati HUT RI-nya " demikian pertanyaan Muh. Afif Rayhan--putra saya yang masih duduk kelas 5 sekolah dasar itu. " kalau 17 Agustus nanti, Insya Allah papa akan merayakan dengan tidur dan istirahat sepanjang hari " Jawaban saya kepadanya. Iya, Istirahat sejenak dari menyaksikan atas deretan ironi kebangsaan kita yang semestinya tidak terjadi. Wallahu 'alam bisshawab.