Rabu, 29 Agustus 2007

" Sarjana " dan PNS

Dua hari yang lalu saya kedatangan 'tamu' dari Makassar. Dia masih terbilang keluarga, dan memang sewaktu masih kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) saya 'indekost' di rumahnya-di bilangan Sultan Alauddin II Gunung Sari Makassar. 'tamu' saya ini adalah alumni Fakultas Teknik Industri di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

" Daeng, saya kesini (baca: Kaltim) selain silaturrahmi, juga bermaksud untuk bertanya-tanya soal pendaftaran PNS " katanya disuatu kesempatan ngobrol dengan saya. " memang kenapa , dek ? " saya balik bertanya kepadanya. " pusingkah bEla, 4 tahunmma menganggur, 2 kalima mendaftar PNS di sana (baca:Makassar) tapi tida lulus-luluska " timpalnya dengan dialek bugisnya yang kental. Pembicaraan kami selanjutnya mengalir apa adanya tanpa topik.

Apakah paradigma "tamu" saya ini menjadi refsentasi dari kebanyakan paradigma atau cara berfikir sarjana Indonesia. Entahlah !, tapi penulis dalam banyak kesempatan menemui banyak contoh dari banyak sarjana dan keluarganya memiliki pandangan seperti itu. Kerapkali dikantor atau dirumah penulis menerima tamu yang meminta bantuan agar dia atau anaknya dan atau keluarganya bisa diuruskan menjadi PNS, bahkan dengan cara menyuap sekalipun, mereka menyatakan mau dan sanggup. "bapak, kan banyak kenalan pejabat, saya sudah menyiapkan 35 juta untuk urusan ini. Tapi kalau mereka (baca: pengambil kebijakan) meminta lebih dari itu, tidak apa-apa yang penting anak saya bisa lulus." Kata seorang ibu suatu ketika. 'maaf, ibu jangan tersinggung, saya mau tanya : darimana ibu bisa memperoleh dana sebanyak itu ? tanya penulis. " terus terang pak, uang kami sebenarnya hanya 10 juta, selebihnya kami pinjam dengan keluarga tambah jual perhiasan" jawabnya lagi. "daripada anak saya menganggur pak, dia sudah 3 tahun lulur sarjana, dan sudah dua kali mendaftar PNS, tapi tidak lulus-lulus" sambung ibu tadi. Luar biasa perhatian ibu ini pada anaknya, kataku membatin.

Ibu yang diceritakan diatas atau siapa pun itu yang melihat PNS sebagai pekerjaan atau profesi yang memiliki masa depan bagus adalah wajar dan sah-sah saja. Memiliki pandangan bahwa menjadi PNS akan mendapatkan status sosial dengan kelas dan strata tertentu juga memang benar. Akan tetapi kalau saja semua sarjana atau keluarganya di negara ini berpikiran sama, tak terbayangkan akibat sosial yang dipastikan merugikan tidak hanya oleh negara, juga oleh mereka yang memiliki pandangan seperti itu. Sampai kapan negara mampu menampung para sarjana kita menjadi PNS semua. Sampai kapan anggaran negara (termasuk anggaran daerah) mampu membayar gaji, pensiunan, dll untuk semua itu.

Atau jangan-jangan karena cara berpikir seperti ini, sehingga sebagian sarjana kita kehilangan kesempatan melihat peluang dan momentum strategis lain, selain menjadi PNS. Kalau itu yang terjadi, maka menjadi tidak heran kalau sampai hari ini, masih sangat banyak sarjana yang menganggur tidak memiliki pekerjaan. Bahkan mungkin saja, masih bejibun sarjana masih 'terpaksa' merepotkan orangtua. Kalau sudah di point ini, mungkin tidak salahnya mengingat perkataan seorang bijak--bahwa kita tidak akan pernah mampu melihatan betapa indah dan dahsyatnya lautan luas kalau belum memiliki keberanian meninggalkan pantai.

Tulisan ini bermaksud semaksimal mungkin memahami kondisi yang dialami oleh sebagian sarjana kita, yang serba dilematis itu. Juga ingin membentangkan suatu fakta bahwa sungguh semua sarjana ingin menjadi PNS tentulah mustahil. Dan pada saat yang bersamaan, kesempatan kerja disektor swasta amatlah terbuka, dinamis, dan menantang. Bahkan saat ini sudah amat trend isue-isue kemandirian pemuda. Sebab juga sudah banyak contoh dimana pemuda kita berhasil dalam sektor swasta dan usaha mandiri.

Kalau saja sudah pernah sekali duakali mendaftar , tapi belum juga berhasil--mungkin alangkah baiknya untuk juga mencoba pada kesempatan lain diluar semangat menjadi PNS. Jika kesempatan menjadi PNS ada, mendaftar segera. Tapi jangan dengan cara menyuap, apalagi uang suapnya diperoleh dengan cara meminjam. Bangkit dan hijrahlah dari cara berfikir yang justru bisa menjebak dalam penantian entah sampai kapan. Wallahu a'alm bisshawab.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bos, ini fakta di Unmul saat SPMB: Fakultas Kehutanan hanya dilamar 10 orang dari 100 lebih kursi tersedia. Fisipol dilamar 3 kali lipat dari kuota. Itu bukti, "profesi" di bidang politik memang semakin menggiurkan dan menjanjikan masa depan. Bukan hanya jadi PNS lho. Menceburkan diri di parpol, dengan harapan tembus sebagai anggota legislatif, juga mulai jadi pilihan hehehe...