Rabu, 21 November 2007

Kepura-puraan elite

Drama kepura-puraan di pentas politik telah menjadi 'serial' laiknya sinetron bersambung di acara-acara entertainment televisi nasional. Wajah buruk parlemen kian parah. performa pemerintah juga tak kalah payah. Lantas, rakyat menjadi korban lagi. Entah sampai kapan kita bisa mendapatkan sebuah sistem politik nasional yang jujur, berpihak kepada rakyat, dan tidak dibangun diatas semangat kepura-puraan. Ya, pura-pura vokal, pura-pura memihak, pura-pura atas nama rakyat, pura-pura bersidang, pura-pura rapat, dan seterusnya--sampai urusan pura-pura studi banding (study comparative).

Protes, kritik, cibiran, hujatan dan aksi demonstrasi rakyat sekalipun, ternyata tidak mampu mengembalikan kesadaran dan komitmen amanah para wakil rakyat, politisi, atau elite kita. Bahkan sedikit pun tidak berpengaruh. Padahal, negara menggaji dengan angka fantastis dari rata-rata standar gaji nasional--belum lagi gelar "yang terhormat" melekat padanya. Masihkah pantas sebutan itu untuk 'mereka' ?

Tidak semua memang seperti itu, kita juga masih memiliki politisi, elite, wakil yang memiliki hati nurani, jiwa patriotik, dan amanah. Masalahnya, sedikit sekali. Tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi 'arus' yang besar tadi. Dilematis, memang. Padahal, cost alias biaya yang harus di tanggung dari sikap kepura-puran elite tadi, sangat luar biasa--baik itu social cost maupun material cost-nya. Dengan metoda enteng-entengan betapa sangat mudah membuktikan besaran pemborosan atas hipotesa di atas. Biaya rapat mencapai ratusan juta per bulan. Demikian halnya dalih kunjungan kerja atau studi banding bisa menghabiskan anggaran milyaran rupiah dengan hasil yang sangat nihil. Rasanya tidak ada ruang bagi logika untuk bisa menerimanya dengan sehat.

Sebenarnya tradisi ini bisa dibalikkan, seandainya semangat komitmen kepada rakyat dan atas dasar amanah menjadi latar belakang kinerja bagi para elite. Kalau saja, rapat atau sidang yang adakan itu benar-benar dan sungguh-sungguh membahas masalah sekaligus menjadi problem solving (way out) bagi masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat, maka menjadi bisa dipahami-- kendati rapat atau sidang itu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal sama juga berlaku bagi kunjungan kerja atau studi banding-studi banding yang berulang-ulang itu.

Tulisan ini memang belum terlalu dalam membahas bagaimana setelah kenyataan terpapar itu. Baru sekadar secara sederhana mengekspresikan kegetiran atas fenomena itu. Sekaligus bermaksud mengajak untuk memikirkan dan menjadi ruang publik untuk didiskusikan secara bersama. Dan untuk tidak bermaksud mengeneralisir, sekali lagi bahwa diantara fakta kebanyakan itu, sesungguhnya masih tersisas diantara elite yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Kita doakan semoga yang tersisa itu, tetap bertahan dan setia atas sikap mulia itu. Wallahu a'lam bishshawab.

2 komentar:

Klinik Organik Samarinda mengatakan...

Sekali lagi antum masih punya dedikasi....selamat...
sebagai wakil rakyat ana harap antum bisa memperjuangan dan membebaskan para petani dari bantuan yang selalu di sertai bunga/riba....mari kita bebaskan petani.....

hery
www.tarunatani.blogspot.com
www.tarunatani-english.blogspot.com

Zain El-Haq mengatakan...

Kepura-puraan = Ketidak-ikhlasan

Tulisan Bung Andi Harun tentang wajah elit di seantero negeri ini yang tampil dengan style penuh "kepura-puraan" dalam mengemban amanah kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka sesungguhnya adalah wujud ketidak ikhlasan dalam beramal.
Bisa jadi ketidak-ikhlasn mereka muncul dari niat awal para elit itu menjadi penguasa hanya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi mereka. Mereka sejak awal memang hanya ingin jadi orang kaya, orang hebat, orang berpengaruh, orang penting, dan sederet predikat orang super lainnya. Amanah kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka akhirnya dijalankan dengan penuh kepura-puraan agar kedok mereka sejak awal itu bisa tertutupi dan mereka dengan kepura-puraan itu seolah-olah tetap menjadi pejuang, pemimpin dan pengayom kepntigan rakyat...
Bisa jadi kepura-puraan alia ktidak-ikhlasan mereka terjadi karena niat awal mereka untuk memikul amanah kekusaan dengan baik telah bergeser karena adanya tuntutan keadaan, lingkungan sosial dan budaya yang "memaksa" para elit harus berhianat terhadap amanah kekuasaan mereka. Mungkin keluarga, kolega, oranisasi politik, atau tuntutan buaya selebritas akhirnya menggeser keikhlasan mereka untuk menjadi pemimpin, penguasa dan pelayanan msyarkat sejati..
Apapun alasan dari style kepura-puraan para elit itu ssungguhnya tak lain dari lahirnya krisis keikhlasan mereka. Dan keikhlasan it adalah buah manis dari keimanan seorang hamba Allah. Sehingga ujung dari lahirnya kepua-puraan itu tak lain karena para eli kita sesungguhnya adalah orang-orang yang miskin keimanan kepada Penciptnya walaupun dia sangat kaya materi dan harta benda...

Sekedar urung rembuk atas gagasan tulisan Bung Andi yang patut mnjadi renungan setiap yang merasa sebgai elit bangsa ini..

Zain El-Haq