Rabu, 12 September 2007

Puasa Dan Sifat Egois Manusia

Baru saja ber-sahur di Ramadhan hari pertama. Baik dalam perspektif teologis maupun sosiologis, puasa memiliki dimensi yang sangat luas--dalam menuntun potensi kemanusiaan menuju kesadaran akan statuta kehambaan manusia. Sejauh mana seseorang bisa sampai pada 'maqom' dalam relasi transendental manusia dengan Tuhannya, akan sangat bergantung pada sejauh mana manusia itu mampu 'mengkanvaskan' sifat kemanusiaannya. Itulah yang sering diistilahkan dengan kata EGO. Ego dalam batas-batas tertentu adalah sangat manusiawi. Karena memang pada setiap jiwa ada sifat ego itu. Sifat tersebut menjadi manusiawi ketika masih berada dalam lingkar orbit egalitarian. Akan menjadi lain, jika sudah sampai pada pemenuhan sifat ego seseorang secara berlebihan, sementara menafikan kewujudan sesama. Secara sosial prilaku ini disebut dengan istilah egois. Suatu sifat mementingkan diri atau kelompok sendiri.

Dalam banyak hal, kerap kita menyaksikan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memaksakan kehendak kepentingannya, sementara menafikan yang lainnya. Atau karena kapasitas dan kemampuan seseorang memenuhi kehendaknya kendati tanpa melanggar kehendak lainnya, akan tetapi abai pada tanggung jawab kemanusiaannya kepada sesama. Hal terakhir ini juag menjadi fenomena sosial yang cukup kronis. Seorang dengan mudah menikmati 'hidupnya' sementara kehilangan kepekaan sosial dengan membiarkan yang lain 'meratapi' hidupnya.

Puasa dan segenap amaliyah Ramadhan menjadi momentum yang strategis untuk kembali menakar sejauh mana eskalasi penyakit abai sosial kita. Sekaligus akan menguji tanggungjawab kemanusiaan kita dengan sesama. Oleh karenanya, seruan puasa kepada orang-orang yang beriman dalam Al Qur'an surah Al Baqarah secara bersamaan juga mengindikasikan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan seseorang menempati nilai yang sama dalam perspektif tingkat ketaqwaannya. Artinya, Islam menolak sifat mementingkan diri sendiri (egois) sementara menafikan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan. Secara derevatif termasuk merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri, paling berhak sendiri.

Akhirnya, semoga puasa kita pada Ramadhan ini membawa kita menjadi manusia tawaddhu, menebalkan kepekaan sosial dan kemanusiaan kita. Dibalik segala yang kita miliki ada hak orang lain. Dan Insya Allah, kita termasuk orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Amin ya Robbul 'alamin. SELAMAT BERPUASA. MOHON MAAF LAHIR BATHIN, TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM.


Tidak ada komentar: